Iklan

Thursday, January 19, 2017

Sumber Hukum Islam

Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir
yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum.

Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata
sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau
alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber
hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung
oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.

Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi
wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”.

Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti:

“seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW
tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini
mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini
adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat,
baik di dunia maupun di akhirat.

A. Al Qur’an

Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur
(mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali
dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan
ibadah.Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama.

Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang
terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu
menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.

1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg
berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasulrasul,
hari akhir, serta qadha dan qadar

2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki
budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.

3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an

Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
1. Segi Kuantitas

Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata

2. Segi Kualitas

Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:

1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan

rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan.
Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam

2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan
Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam
dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih

3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki
sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.

Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:

1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji,
nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
tuhannya.

2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti
perjanjian perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan
dan lain sebagainya.

Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:

1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu
perkawinan dan warisan

2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual
beli (perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud
utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib

3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan
keputusan, persaksian dan sumpah

4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan
hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas

5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar
kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq
dan sedekah.

Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis
besar. Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah,
kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka
ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya
sesuai dengan perubahan zaman.

Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan
dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-undang sebagainya.
Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah
umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai
dengan perkembangan zaman.

Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan
dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang
berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
B. Hadits

Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang
kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan
perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal
ini sejalan dengan firman Allah SWT: 
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)

Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi
Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia.
Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal
tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat
mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah
SAW:

Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam
Malik)

Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai
berikut.

1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga
kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang
sama. Misalnya Allah SWT didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi
perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Qur’an
onlines di google)

Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)

Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih
bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar
zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak
menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak
merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji.

Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh
lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging
babi. Firman Allah sebagai berikut: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah
: 3)

Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana
yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang
boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:

وَامََّا , اْلحُوْتُ وَاْلجَرَادُ : فَامَّا اْلمَیْتَتَانِ ا, حُِل تَّْ لنََا مَیْتَتَانِ وَ دَمَانِ

(رواه ابن الماجھ و الحاكم )فَاْلكَب دُِ وَالط حَِّالِ : الدَّمَانِ
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua
macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan
limpa…” (HR Ibnu Majjah)

1. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an.
Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya
tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:

رواه مسلم و ھحمد و ھبو داود )ط ھُُوْرُ ا نَِاءِ احََدِكُمْ اذَِا وَلِغَ فِیْھِ اْلكَْلبُ انَْ یُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اوَْل ھَِنَّ ب اِلتُّرَابِ
(و البیھقى

Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh
sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu
Daud, dan Baihaqi)

Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang
dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshohehan suatu hadits

2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak
begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat
illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul
biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu
penting

3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat
hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan
mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya
syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:

1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal

C. Ijtihad

Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah
yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan
akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan
hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang
ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama
muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada
Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah
yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan
hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan
ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan
Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al
Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya
sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda
setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan
hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.

Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:

1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al
Qur’an dan hadits
3. mengetahui soal-soal ijma
4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan
sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW
bersabda:

( رواه البخارى و مسلم ) اذَِا حَكَمَ اْلحََ افكَِامجْتَھَدَ ث مَُّ اصََابَ فَل ھَُ اجََرَانِ وَ اذَِا حَكَمَ وَاجْتَھَدَ ث مَُّ اخَْطأَ فَلَھُ اجَْرٌ

Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan
ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang
hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya
salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)

Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad,
tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa
rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

(رواه نصر المقدساخْتِلاَ فِ ا مَُّتِيْ رَحْمَة

Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr
Al muqaddas)

Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’
adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa
dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’
diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT:

Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri
diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)

Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan
dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan
demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah
mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi
mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini

Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya
dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat
persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti
bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut
dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu samasama
memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an
atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada
hukumnya dalam Al Qur’an.

Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya
mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:

1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain

Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan
secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan
umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan

Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari
hukum tersebut

Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara
kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi
adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah
hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum
agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak
bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits.

Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak
diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu.
Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar
kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah
ditetapkan.

Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam
perkembangan hidupnya

Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah
atau untuk menghilangkan mudarat.

0 komentar:

Post a Comment