Iklan

Thursday, January 19, 2017

Manusia Menurut Agama Islam


Menurut ajaran Islam, manusia, dibandingkan dengan makhluk lain, mempunyai
beberapa ciri utamanya adalah:

1. Makhluk yang paling unik, djadikan dalam bentuk yang paling baik, ciptaan
Tuhan yang paling sempurna. Firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya”
(QS. At-Tin:4)


Karena itu pula keunikannya (kelainannya dari makhluk ciptaan Tuhan yang lain) dapat
dilihat pada bentuk struktur tubuhnya, gejala-gejala yang ditimbulkan jiwanya,
mekanisme yang terjadi pada setiap organ tubuhnya, proses pertumbuhannya melalui
tahap-tahap tertentu.

Hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya,
ketergantungannya pada sesuatu, menunjukkan adanya kekuasaan yang berada diluar
manusia itu sendiri. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah karena itu seyogyanya
menyadari kelemahannya. Kelemahan manusia berupa sifat yang melekat pada dirinya
disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah:

a. Melampaui batas (QS. Yunus:12)

b. Zalim (bengis, kejam, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, aniaya) dan
mengingkari karunia (pemberian) Allah (QS. Ibrahim: 34)

c. Tergesa-gesa (QS. Al-Isra’:11)

d. Suka membantah (QS. Al-Kahfi:54)

e. Berkeluh kesah dan kikir (QS. Al-Ma’arij:19-21)

f. Ingkar dan tidak berterima kasih (QS. Al-‘Adiyat: 6)

Namun untuk kepentingan dirinya manusia ia harus senantiasa berhubungan dengan
penciptanya, dengan sesama manusia, dengan dirinya sendiri, dan dengan alam
sekitarnya.

2. Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin
dikembangkan) beriman kepada Allah. Sebab sebelum ruh (ciptaan) Allah
dipertemukan dengan jasad di rahim ibunya, ruh yang berada di alam ghaib itu
ditanyain Allah, sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an:

Artinya: “apakah kalian mengakui Aku sebagai Tuhan kalian? (para ruh itu
menjawab) “ya, kami akui (kami saksikan) Engkau adalah Tuhan kami”). (QS.
Al-A’raf:172)

3. Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya dalam Al-Qur’an surat
Az-Zariyat:

Artinya: “tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-
Ku.” (QS. Az-Zariyat:56)

Mengabdi kepada Allah dapat dilakukan manusia melalui dua jalur, jalur khusus
dan jalur umum. Pengabdian melalui jalur khusus dilaksanakan dengan
melakukan ibadah khusus yaitu segala upacara pengabdian langsung kepada Allah
yang syarat-syaratnya, cara-caranya (mungkin waktu dan tempatnya) telah
ditentukan oleh Allah sendiri sedang rinciannya dijelaskan oleh Rasul-Nya,
seperti ibadah shalat, zakat, saum dan haji. Pengabdian melalui jalur umum dapat
diwujudkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang disebut amal
sholeh yaitu segala perbuatan positif yang bermanfaat bagi diri sendiri dan
masyarakat, dilandasi dengan niat ikhlas dan bertujuan untuk mencari keridaan
Allah.

4. Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya di bumi. Hal itu
dinyatakan Allah dalam firman-Nya. Di dalam surat al-Baqarah: 30 dinyatakan
bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah-Nya di bumi.

Perkataan “menjadi khalifah” dalam ayat tersebut mengandung makna bahwa
Allah menjadikan manusia wakil atau pemegang kekuasaan-Nya mengurus dunia
dengan jalan melaksanakan segala yang diridhai-Nya di muka bumi ini (H.M.
Rasjidi, 1972:71)

Manusia yang mempunyai kedudukan sebagai khalifah (pemegang kekuasaan
Allah) di bumi itu bertugas memakmurkan bumi dan segala isinya.

Memakmurkan bumi artinya mensejahterakan kehidupan di dunia ini. Untuk itu
manusia wajib bekerja, beramal saleh (berbuat baik yang bermanfaat bagi diri,
masyarakat dan lingkungan hidupnya) serta menjaga keseimbangan dan bumi
yang di diaminya, sesuai dengan tuntunan yang diberikan Allah melalui agama.
5. Disamping akal, manusia dilengkapi Allah dengan perasaan dan kemauan atau
kehendak. Dengan akal dan kehendaknya manusia akan tunduk dan patuh kepada
Allah, menjadi muslim. Tetapi dengan akal dan kehendaknya juga manusia dapat
tidak dipercaya, tidak tunduk dan tidak patuh kepada kehendak Allah, bahkan
mengingkari-Nya, menjadi kafir. Karena itu di dalam Al-Qur’an ditegaskan oleh
Allah:

Artinya: “Dan katakan bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu.
Barangsiapa yang mau beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang tidak
ingin beriman, biarlah ia kafir.” (QS. Al-kahfi: 29)

Dalam surat Al-Insan juga dijelaskan:

Artinya: “Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus (kepada
manusia), ada manusia yang syukur, ada pula manusia yang kafir.” (QS. Al-
Insan:3)

6. Secara individual manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Hal ini
dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an :
Artinya: “Setiap orang terikat (bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.”
(QS. At-Thur: 21)

7. Berakhlaq. Berakhlaq adalah ciri utama manusia dibanding mahkluk lain.

Artinya manusia adalah makhluk yang diberikan Allah kemampuan untuk
membedakan yang baik dengan yang buruk. Dalam islam kedudukan akhlaq sangat
penting, ia menjadi komponen ketiga dalam Islam. Kedudukan ini dapat dilihat
dalam sunah yang menyatakan bahwa beliau diutus hanyalah untuk
menyempurnakan akhlaq manusia yang mulia.

Dari ungkapan Al-Qur’an itu jelaslah bahwa manusia berasal dari zat yang sama
yaitu tanah. Pada kesempatan lain Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia
diciptakan dari air(mani) yang terpencar dari tulang sulbi(pinggang) dan tulang
dada (QS. At-Thariq: 6-7), begitu juga segala sesuatu (alam).

Dan dalam masa 40 hari mani yang telah terpadu, berangsur menjadi darah
segumpal. Untuk melihat contoh peralihan berangsur kejadian itu, dapatlah kita
memecahkan telur ayam yang sedang dierami induknya. Tempatnya aman dan
terjamin, panas seimbang dengan dingin, didalam rahim bunda kandung, itulah
“qararin makin”, tempat yang terjamin terpelihara.

Lepas 40 hari dalam bentuk segumpal air mani berpadu itu diapun bertukar rupa
menjadi segumpal darah. Ketika ibu telah hamil setengah bulan. Penggeligaan itu
sangat berpengaruh atas badan si ibu, pendingin, pemarah, berubah-ubah perangai,
kadang-kadang tak enak makan. Dan setelah 40 hari berubah darah, dia berangsur
membeku terus hingga jadi segumpal daging, membeku terus hingga berubah
sifatnya menjadi tulang. Dikelilingi tulang itu masih ada persediaan air yang
kelaknya menjadi daging untuk menyelimuti tulang-tulang itu.

Mulanya hanya sekumpul tulang, tetapi kian hari telah ada bentuk kepala, kaki dan
tangan dan seluruh tulang-tulang dalam badan. Kian lama kian diselimuti oleh
daging. Pada saat itu dianugerahkan kepadanya “ruh”, maka bernafaslah dia.

Dengan dihembuskan nafas pada sekumpulan tulang dan daging itu, berubahlah
sifatnya. Itulah calon yang akan menjadi manusia. (Dudung Abdullah; 1994: 3)
Tentang ruh (ciptaan-Nya) yang ditiupkan kedalam rahim wanita yang
mengandung embrio yang terbentuk dari saripati (zat) tanah itu, hanya sedikit
pengetahuan manusia, sedikitnya juga keterangan kepada para malaikat,
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering yang
berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalam ruh (ciptaan)Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan sujud(Al-Hijr(15): 28-29). Yang
dimaksud “dengan bersujud” dalam ayat ini bukanlah menyembah, tapi memberi
penghormatan.

Al-Qur’an tidak memberi penjelasan tentang sifat ruh. Tidak pula ada larangan
didalam Al-Qur’an untuk menyelidiki ruh yang ghaib itu, sebab penyelidikan
tentang ruh, mungkin berguna, mungkin pula tidak berguna. Dalam hubungan
dengan masalah ruh ini, Tuhan berfirman dalam surat Al-Isra’: 85

Artinya : “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah
(kepada mereka) bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku dan kamu tidak diberi
pengetahuan kecuali hanya sedikit” (Mahmud Syalhut, 1980: 116)

Dari uraian singkat mengenai asal manusia itu dapatlah diketahui bahwa manusia,
menurut agama Islam, terdiri dari 2 unsur yaitu unsur materi dan unsur immateri.
Unsur materi adalah tubuh yang berasal dari air tanah. Unsur immateri adalah ruh
yang berasal dari alam ghaib. Proses kejadian manusia itu secara jelas disebutkan
dalam Al-Qur’an (dan Al-Hadits) yang telah dibuktikan kebenarannya secara
ilmiah oleh Maurice Bucaile dalam bukunya Bibel, Qur’an dan Sains Modern
terjemahan H.M. Rasjidi (1978)

Al-Qur’an yang mengungkapkan proses kejadian manusia itu antara lain terdapat
didalam surat Al-Mu’minun ayat 12-14(sebagaimana dikutip pada halaman 25),
secara ringkas adalah :

1) Diciptakan dari saripati tanah (sulalatin min thin), lalu menjadi
2) Air mani (nutfhah disimpan dalam rahim), kemudian menjadi
3) Segumpal darah (alaqah), diproses
4) Kami jadikan menjadi segumpal daging (mudhghah)
5) Tulang belulang (‘idhaman)
6) Dibungkus dengan daging (rahman).
7) Makhluk yang (berbentuk) lain (janin?). (Q.S. Al-Mukminun; 12-14)
Ditiup roh (dari Allah) pada hari yang ke 120 usia kandungan
9) Lalu lahir sebagai bayi (Q.S. Al-Hajj; 5)
10) Dia jadikan pendengaran, penglihatan dan hati (Q.S. An-Nahl; 78)
11) Tumbuh anak-anak, lalu dewasa, tua (pikun) (Q.S. Al-Hajj; 5)
12) Kemudian mati (Q.S. Almukminun; 15)
13) Dibangkit (dari kubur) di hari kiamat (Q.S. Al-Mukminun; 16)

Melalui sunahnya, Nabi Muhammad menjelaskan pula proses kejadian manusia,
antara lain dalam hadits berbunyi sebagai berikut:

Artinya : “Sesungguhnya, setiap manusia dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya
selama empat puluh hari sebagai muthfah (air mani), empat puluh hari sebagai ‘alaqah
(segumpal darah) selama itu pula sebagai mudhgah (segumpal daging). Kemudian Allah
mengutus malaikat untuk meniupkan ruh (ciptaan) Allah ke dalam tubuh (janin) manusia
yang berada dalam rahim itu (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dari ungkapan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dikutip diatas, kita dapat mengetahui
bahwa ketika masih berbentuk janin sampai berumur 4 bulan, embrio manusia belum
mempunyai ruh. Ruh itu ditiupkan kedalam janin setelah janin itu berumur 4 bulan (3 x
40 hari). Namun, dari teks atau nash itu dapat dipahami kalau orang mengatakan bahwa
kehidupan itu sudah ada sejak manusia berada dalam bentuk nuthfah (H.M. Rasjidi,
1984: 5).Dari proses kejadian dan asal manusia menurut Al-Qur’an itu, Ali Syari’ati,
sejarawan dan ahli sosiologi Islam, yang dikutip oleh Mohammad Daud Ali,

mengemukakan pendapatnya berupa interpretasi tentang hakikat penciptaan manusia.
Menurut beliau ada simbolisme dalam penciptaan manusia dari tanah dan dari ruh
(ciptaan) Allah. Makna simbiolisnya adalah, manusia mempunyai 2 dimensi
(bidimensional) : dimensi ketuhanan, dan dimensi kerendahan atau kehinaan. Makhluk
lain hanya mempunyai satu dimensi saja (uni-dimensional).

Dalam pengertian simbiolis, lumpur (tanah) hitam, menunjuk pada keburukan, kehinaan
yang tercemin pada dimensi kerendahan. Disamping itu, dimensi lain yang dimiliki
manusia adalah dimensi keilahian yang tercemin dari perkataan ruh (ciptaan)-Nya itu.
Dimensi ini menunjuk pada kecenderungan manusia untuk mendekatkan diri
kepada Allah, mencapai asaluruh (ciptaan) Allah dan atau Allah sendiri.

Karena hakekat penciptaan inilah maka manusia pada suatu saat dapat mencapai derajat
yang tinggi, tetapi pada saat yang lain dapat meluncur ke lembah yang dalam, hina dan
rendah. Fungsi kebebasan manusia untuk memilih, terbuka baik kejalan Tuhan maupun
sebaliknya, kejurang hinaan. Kehormatan dan arti penting manusia, dalam hubungan ini,
terletak dalam kehendak bebas (free will)nya untuk menentukan arah hidupnya.
Hanya manusialah yang dapat menentukan tuntutan dan sifat nalurinya, mengendalikan
keinginan dan kebutuhan fisiologisnya untuk berbuat baik atau jahat, patuh atau tidak
patuh kepada hukum hukum Tuhan.

Dari uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan Allah yang terdiri dari jiwa dan raga, berwujud fisik dan ruh (ciptaan) Allah.
Sebagai makhluk illahi hidup dan kehidupannya berjalan melalui 5 tahap, masing-masing
tahap tersebut “alam” yaitu :

1) Di alam ghaib (alam ruh atau arwah)
2) Di alam rahim
3) Di alam dunia (yang fana ini)
4) Di dalam barzakh dan
5) Di alam akhirat (yang kekal = abadi) yakni alam tahapan terakhir hidup dan kehidupan
(ruh) manusia.

Dari kelima tahapan kehidupan manusia itu, tahap kehidupan ketiga yakni tahap
kehidupan di dunia merupakan tahap kehidupan yang menentukan (melalui iman, taqwa,
amal dan sikap) nasib manusia dalam tahap-tahap kehidupan selanjutnya (4 dan 5) dan
keempatnya diakhirat nanti.

Tidak sedikit ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang manusia, bahkan manusia
adalah makhluk pertama yang disebut dua kali dalam rangkaian wahyu pertama (Q.S. Al-
Alaq: 1-5). Di satu sisi manusia sering mendapat pujian Tuhan. Dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain, ia mempunyai kapasitas yang paling tinggi (Q.S. Hud: 3),

mempunyai kecenderungan untuk dekat kepada Tuhan melalui kesadarannya tentang
kehadiran Tuhan yang terdapat jauh di alam sadarnya (Q.S. Ar-Rum: 43).

Manusia diberi kebebasan dan kemerdekaan serta kepercayaan penuh untuk
memilih jalannya masing-masing (Q.S. Al-Ahzab: 72; Al-Ihsan : 2-3)

Ia diberi kesadaran moral untuk memilih mana yang baik mana yang buruk, sesuai
dengan hati nuraninya atas bimbingan wahyu (Q.S. Asy-Syams(91):7-8). 
Manusia
dimuliakan Tuhan dan diberi kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk lain (Q.S. Al-
Isra:70), diciptakan Tuhan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S. At-Tiin(95):4)

Namun disisi lain, manusia ini juga mendapat celaan Tuhan, amat aniaya dan mengikari
nikmat (Q.S. Ibrahim: 34), sangat banyak membantah (Q.S. Al-Hajj: 67) dan kelemahan
lain yang telah disebut didepan. Dengan mengemukakan sisi pujian dan celaan tidak
berarti bahwa ayat-ayat Al-Qur’an bertentangan satu sama lain, tetapi hal itu
menunjukkan potensi manusiawi untuk menempati tempat terpuji, atau meluncur ke
tempat tercela.Al-Qur’an seperti telah disebut di muka, menjelaskan bahwa manusia
diciptakan dari tanah, kemudian setelah sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan
kepadanya ruh ciptaan-Nya (Q.S. Sad: 71-72).

Metode Dakwah Wali Songo


Pada masa awal kedatangan Islam di kepulauan Nusantara, khususnya
Jawa, masyarakat Jawa telah menganut dan memiliki berbagai kepercayaan
1HJ. Benda," Kontinuitas dan Perubahan dalam Islam di Indonesia," dalam Taufik Abdullah
(Editor), Islam di Indonesia, (Jakarta : Tintamas,1975), p. 33.

Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 123
dan agama, yakni Animisme-Dinamisme dan Hindu- Budha. Budaya Jawa
asli yakni Religi animisme-dinamisme telah berkembang semenjak masa
pra-sejarah. Dalam agama jawa ada pemikiran bahwa dunia ini juga
didiami oleh ruh-ruh halus dan kekuatan-kekuatan gaib. Orang percaya
dapat mengadakan hubungan langsung untuk meminta bantuan atau untuk
menguasai ruh-ruh dan kekuatan-kekuatan gaib bagi kepentingan duniawi
dan rohani mereka.

Pada masa Hindu-Budha, budaya Jawa asli tersebut, ditumbuh
kembangkan. Para cendikiawan Jawa menyadap dan mengolah unsurunsur
Hinduisme bagi pengembangan dan penghalusan budaya Jawa. Satu
hal yang perlu dicatat bahwa Hinduisme mempunyai dasar pikiran yang
sejajar atau sejalan dengan religi animisme-dinamisme, yakni bahwa
manusia bisa menjalin hubungan dengan dewa-dewa dan ruh-ruh halus.
Bahkan dengan laku tapa brata manusia bisa menjadi sakti dan bersatu
dengan dewanya. Jadi pengaruh Hinduisme justru menyuburkan dan
meningkatkan laku keprihatinan.

Kemudian ketika kedatangan agama Islam yang mulai menyebar di
Indonesia semenjak abad ke-13 M, ternyata juga tidak mengganggu budaya
asli animisme-dinamisme di Jawa. Hal ini dikarenakan budaya asli ini
mempunyai watak yang elastis sehingga dapat menyusup dalam Islam
pesantren. Karena yang menyebar ke Indonesia adalah Islam Sufi, maka
agama Islam yang ajarannya telah dimistikkan mengalami perkembangan
dengan sangat cepat .Hal ini karena ajaran Islam ini disebarkan melalui
pendekatan Budaya. Pendekatan budaya dimaksud adalah penerapan
metode-metode dakwah dengan mempergunakan budaya local, sebagaimana
paparan berikut.

A. Metode al-Hikmah

Metode ini sebagai sistem dan cara berdakwah para wali merupakan
jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif dan
sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat
awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu
mereka hadapi secara massal. Kadang-kadang terlihat sensasional, bahkan
ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum. Dalam rangkaian
metode ini kita dapati Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.

Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekatennya.2 Atas usul Sunan Kalijaga,
!Ki Siswoharsojo, Guna Cara Agama, Cet.2 (t.p.:Yogyakarta,1955), p. 21-22.
124 Aplikasia, Jurnal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:122-141
maka dibuatlah keramaian Sekaten atau syahadatayn (dua kalimat persaksian
kunci keislaman), yang diadakan di Masjid Agung dengan memukul gamelan
yang sangat unik dengan langgam-lagu maupun komposisi instrumental
yang telah lazim masa itu. Keramaian diadakan menjelang hari peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw. Selain itu, Sunan Kalijaga juga mengarang
lakon-lakon wayang baru dan menyelenggarakan pergelaran-pergelaran
wayang.3 Sedangkan upah baginya sebagai dalang, ialah berupa kalimat
syahadat. Dengan kalimat syahadat beliau baru mau dipanggil untuk memainkan
sesuatu lakon wayang. Pergelaran wayang biasanya diselenggarakan
dalam rangka meramaikan suatu pesta atau upacara peringatan. Pada
kesempatan seperti inilah disampaikan nilai-nilai tauhid kepada masyarakat
awam dengan menempuh dakwah melalui cerita-cerita wayang yang pada
masa itu sangat digemari masyarakat awam.

Metode di atas juga diterapkan oleh Sunan Kudus. Dengan lembunya
yang nyentrik karena dihias istimewa merealisasikan kiat lain dalam menerapkan
prinsip dakwah.4 Diceritakan bahwa Sunan Kudus pernah mengikat
seekor lembu di alaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu
masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu
yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang
dan berkerumun di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan
dakwahnya. Cara ini sangat praktis dan strategis. Seperti diketahui, lembu
merupakan binatang keramat dan menarik hati orang Hindu. Menyaksikan
bahwa lembu tidak dihinakan oleh Sunan Kudus, terbitlah minat dan
simpati masyarakat penganut Hindu.

Selain itu metode ini juga banyak dipakai oleh Wali yang lain dalam
usahanya mengislamkan masyarakat Jawa,yaitu dengan menggubah hal
lama yang tidak bersesuaian dengan Islam. Sunan Ampel, menyusun
aturan-aturan syariat islam bagi orang-orang Jawa. Sunan Gresik mengubah
pola dan motif batik, lurik dan perlengkapan kuda. Sunan Majagung
menyempurnakan masakan, makanan, usaha dan peralatan pertanian serta
barang pecah-belah. Sunan Gunung Jati memperbaiki doa mantra (pengobatan
batin), firasat, jampi-jampi (pengobatan lahir) dan hal-hal yang berkenaan
dengan urusan pembukaan hutan, trasmigrasi ataupun pembangunan
desa baru. Sunan Giri menyusun peraturan-peraturan tata-
JD.A. Rinkes, De Helligen Van ]ctm, Jilid V, p. 150.
Solichin Salam, Sunan Kudus, Riwayat Hidup serta Perjuangannya (Kudus: Menara Kudus
t.t)p. 17.

Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 125
kerajaan, tata-istana, aturan protokoler kerajaan Jawa, mengubah perhitungan-
perhitungan dari bulan, tahun, windu, masa, dan memulai
pembuatan kertas. Sunan Bonang menciptakan aturan-aturan serta kaidah
keilmuan dan memperbaiki serba-serbi gamelan, lagu dan nyanyian. Sunan
Drajat mengubah bentuk rumah, alat angkutan (seperti kuda, joki, dan
sebagainya).

B. Metode Tadarruj atau Tarbiyatul Ummah

Metode ini dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan
dengan tahap pendidikan umat. Agar ajaran Islam dapat dengan mudah
dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan secara merata, maka metode
yang ditempuh oleh Walisongo didasarkan atas pokok pikiran li kulli maqam
maqam yaitu memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat, ada tingkat,
bidang materi dan kurikulumnya. Sesuai dengan cara ini, penyampaian
fiqih ditujukan bagi masyarakat awam dengan jalan pesantren dan melalui
lembaga sosial.

Dalam lingkungan pesantren disediakan pengajaran dan pendidikan
bagi masyarakat umum yang ingin belajar takhassus (mengkaji secara intens
dan khusus) masalah fiqih dan syariat. Untuk menjadi peserta, tidak diajukan
persyaratan tertentu karena memang dibuka untuk umum yang
memang berminat. Selanjutnya, metode lembaga sosial. Melalui pendidikan
sosial atau usaha-usaha kemasyarakatan diupayakan agar ajaran-ajaran
Islam yang bersifat praktis dapat menjadi tradisi yang memungkinkan
terciptanya adat lembaga Islam yang bersifat normatif. Dengan begitu,
diharapkan anggota masyarakat secara sadar atau tidak sadar menjalankan
ajaran serta amalan-amalan Islam atau lembaga sosial, misalnya menjadikan
masjid sebagai lembaga pendidikan, merayakan upacara kelahiran,
perkawinan, kematian, lembaga kekeluargaan, khitan, dan sebagainya.

Sesuai dengan karakter yang termuat di dalamnya, maka ilmu kalam
atau tauhid disampaikan sebagai ta'lim (pengajaran) melalui pesantren,
dan diberikan bagi orang-orang khawas secara terbatas. Sedangkan untuk
menyampaikan nilai-nilai tauhid kepada masyarakat awam ditempuh
dakwah melalui cerita-cerita wayang. Untuk kepentingan itu, antara lain
diciptakan lakon Dewa Ruci, Jimat Kalima Soda, dan dikarang pula kitabkitab
bacaan umum semisal Kitab Ambiyo (Kitab Al- Anbiya) yang berisi
riwayat nabi-nabi.

Selanjutnya, ilmu tasawuf, yang oleh Sunan Bonang disebut ushul
suluk? Ilmu ini disampaikan melalui wind, yaitu pengajaran dengan wejang-
'Schrieke, Hit Boek Van Bonang, (Leiden: Proefschrif Univ Leiden, 1916), p. 92.
126 Aplikasia, Jumal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:122-141
an secara rahasia, tertutup dan sangat eksklusif. Tempat dan waktunya
ditentukan secara rahasia pula. Wirid ilmu tasawuf hanya disediakan bagi
orang-orang tertentu yang telah berlemek atau memiliki basis yang memang
diperlukan bagi laku suluk, thariq, thariqat.6 Ketentuan ini disamping atas
suatu kelaziman karena tasawuf merupakan ilmu lanjut yang dengan
sendirinya menuntut suatu ilmu dasar, juga demi mejaga keliru paham,
salah pengertian dan salah penggunaan terhadap ilmu ini.

Contoh bagi semua ini ialah antara lain ketika Raden Fatah menyatakan
ingin berguru agama kepada Sunan Ampel, maka Raden Fatah di tanya
lebih dulu apakah sudah memiliki dasar. Setelah mengetahui dasar yang
dimilikinya kemudian Raden Fatah tidak lagi diharuskan masuk pondok
pesantren, tetapi langsung ditempatkan dalam derajat lingkaran ivirid.
Raden Fatah memang membawa bekal ilmu yang sebelumnya ia miliki sejak
dari Palembang.7

C. Metode Pembentukan dan Penanaman Kader, serta Penyebaran Juru
Dakwah ke Berbagai Daerah

Dikarenakan tempat yang menjadi sasaran dakwah adalah daerahdaerah
yang kosong dari pengaruh Islam, maka Sunan Kalijaga mengkader
Kiai Cede Adipati Pandanarang untuk berhijrah ke Tembayat dan mengislamkan
masyarakat di daerah itu dan sekitarnya. Kiai Cede Pandanarang
kemudian dikenal sebagai Sunan Tembayat.8 Selain itu, Sunan Kalijaga juga
mendidik Ki Cakrajaya dari Purworejo dan setelah menjadi wali nawbah
dianjurkan pindah ke Lowanu agar mengislamkan masyarakat disekitar
daerah itu.9 Sunan Ampel menyuruh Raden Fatah berhijrah ke hutan
Bintara, membuka hutan itu dan membuat perkampungan atau kota baru,
lalu mengimami masyarakat yang baru terbenruk nanti. Lebih lanjut Bintara
ini berkembang menjadi Demak, markas dan basis perjuangan Islam pada
masa lebih lanjut.10 Selain itu, misalnya Sayyid Ya'qub atau yang lebih
dikenal sebagai Syaikh Wali Lanang di kirim ke Blambangan " untuk
mengislamkan Prabu Satmudha. Sedangkan Khalifah Kusen (Husain) ke
Madura untuk mengislamkan Arya Lembupeteng, dan Iain-lain.
'D.A. Rinkes, De Hdligen Van }wa, IV:533 no.15.
T?. Tanojo, Walisana.,(Solo: TB.Sadu Budi, t.t), p. 54-55.
"D.A. Rinkes, De Helligen Van Java, p. 21.
'Ibid., Ill: 275, tentang Sunan Geseng.
10R. Tanojo, Walisana, p. 79-80.
"Ibid., p. 21.

Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 127
Tidak berlebihan bila disimpulkan bahwa para Walisongo telah berhasil
mengislamkan tanah Jawa, karena telah menggunakan budaya sebagai pendekatannya.
Dengan demikian para Wali tersebut telah meneladani dakwah
yang pernah diperbiiat oleh Rasulullah Saw.

Sesuai dengan prinsip keorganisasian, forum Walisongo merupakan
suatu kerja sama yang harmonis. Walisana12 memberikan tugas dan inisiatif
yang dipegang oleh masing-masing wali sehingga merupakan suatu pembagian
tanggung jawab dan kerja sama wali-wali dalam kesatuan jamaah.
Dalam keadaan tersebut masing-masing wali merupakan ketua-ketua seksi
penanggung jawab. Sementara isi materi pelaksanaan tanggung jawab itu
berasal dari sumbangan, buah pikiran serta keahlian yang ada pada mereka
masing-masing. Sebagai contoh, meskipun persoalan lagu-lagu adalah tugas
dan tanggung jawab Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga,13 namun para
wali yang lain juga ikut mengarang lagu-lagu untuk menopang seksi yang
diketuai Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga itu. Seperti Sunan Giri
mengarang lagu langgam Asmaradana, sedang Sunan Majagung lagu
Maskumambang. Atau bidang pertanian yang sebenarnya adalah bagian
dari tugas Sunan Majagung, tetapi Sunan Kalijaga menyumbangkan kecakapannya,
yaitu menyempurnakan bentuk pacul dan luku.

Di samping menjadikan forum Walisongo secara efektif sebagai orgartisasi
dan alat kepentingan dakwah, para wali menggunakan media baik
bersifat psikologis maupun material dengan kiat yang lebih luas. Dalam
dakwahnya, terbukti bahwa mereka tidak melupakan faktor dan gejalagejala
psikologis. Segi-segi psikologis ini mereka perhatikan dan mereka
manfaatkan untuk menyiasati masyarakat yang menjadi sasaran dakwah
mereka. Ini sebagai bukti bahwa dakwah yang disampaikan oleh para Wali
songo juga dibina menurut tuntunan Rasul.

Di samping mendasarkan argumen di atas prinsip rasional, mudah
diterima akal dan atas prinsip emosional bersesuaian dengan cita-rasa
manusia, mengetuk pintu hati; maka tidak jarang pula wali-wali itu mendasarkan
pelaksanaan dakwahnya dengan unik, yaitu dengan dalil
argumentasi aksiomatik yang secara otomatis sangat jitu. Sebagai contoh,
setelah para wali melakukan kisas atas diri Syaikh Siti Jenar yang dituduh
bid'ah, musyrik, ibahiyah, absurd, dan sangat berbahaya bagi usaha mengislamkan
rakyat yang masih sangat muallaf (baru menerima islam) dan
"Ibid., p. 192-193.
"IbiA., p. 190-209.
128 Aplikasia, Jumal Aplikasi llmu-ilmuAgama, Vol. IV, No. 2 Desember2003:122-141
mudah di selewengkan itu, para wall mengubur jenazah Syaikh dengat
sangat rahasia. Bahkan Sultan Demak sendiri tidak tahu hal ihwal yang
sebenarnya. Jenazah itu kemudian diganti dengan bangkai anjing kurus,
merah, kudisan, dan menjijikkan yang ditaruh pada keranda mati. Semua
itu sebagai tamsil peringatan atas diri Sultan dan juga bagi publik awam
yang sangat menaruh perhatian dan tertarik pada ajaran Syaikh Lemah
Abang. Di samping itu, juga dimaksudkan agar mereka menyimpulkan
sendiri dan membenarkan tindakan wali-wali, dan sebaliknya menjauhi
dan membenci ajaran-ajaran Syaikh Lemah Abang. Lebih dari itu, bila
mengikuti Syaikh Siti Jenar berarti menanggung nasib sebagaimana yang
mereka lihat dan yakini dengan mata kepala sendiri. Atau dari berita-berita
raja yang diundangkan secara resmi, berita dari mulut ke mulut di seantero
Kerajaan Demak, kematian Syaikh Lemah Abang sangat aneh dan menyeramkan,
ia telah berubah menjadi bangkai anjing yang sangat hina dan
menjijikkan "Banke kirik kudisen". Itulah laknat dan kehinaan sebagai akibat
kesesatan dan keganjilannya. Demikianlah, wali-wali itu berhasil menarik
publik ke arah paham mereka yang sunni dan menjauhkannya dari ajaran
Syaikh Lemah Abang yang bid'iy dan sesat.

Sukses ini terjadi secara merata di dalam wilayah daerah Kerajaan
Demak. Bahkan para wali telah berhasil mempengaruhi Sultan Demak
sehingga menggantungkan bangkai anjing "jenazah Syaikh Siti Jenar" itu,
di perempatan jalan yang ramai. Maklumat ini disertai ancaman lengkap
dengan hal-ihwal dan akibatnya, yang mengandung tamsil ibarat nasib
malang yang akan menimpa dan menjadi bagian bagi setiap orang yang
berani menghina agama dan berlaku bid'ah seperti Siti Jenar. Nasib yang
malang dan hina itu ialah di dunia akan dipidana oleh raja dengan hukuman
qisas dan di akherat kelak akan mendapat kehinaan dari Tuhan Yang Maha
Esa, yaitu dijadikan kirik kuru gudiken (anjing kecil kurus kudisan) dan
bukan manusia lagi karena berani-berani menyekutukan Tuhan. Inilah suatu
dosa musyrik yang tidak terampunkan dan tidak tertobatkan.

Selain itu, sebagai bukti penggunaan uslub yang bijaksana terlihat pada
pelaksanaan dakwahnya, wali-wali itu menciptakan lambang-lambang,
simbol, rumus, dan semboyan yang dapat menarik orang kepada Islam.
Untuk itu, mereka menciptakan kidung-kidung sebagai nyanyian agama
dan keramat seperti Kidung Rumeksa ing Wengi ciptaan Sunan Kalijaga.
Mereka juga mengubah mantra menjadi doa yang sesuai dengan tuntunan
Islam. Mantra-mantra itu diawali dengan basmallah dan diakhiri dengan
ilia', misalnya ialah lafaz Mantra Betuah (petuah) Sunan Kali, suatu bacaan
bila kita berhajat memohon apa saja kepada Yang Menguasai Hidup (Sing

Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 129

Kuasa). Apa pun yang akan kita mohonkan, hendaknya lafadh itu dibaca
saat istirahat waktu bedug telu (tengah malam menjelang dini hari atau
fajar) di halaman rumah dengan membakar kemenyan. Lafadhnya sebagai
berikut:

"Bismillaahirmhmaaninaheim, sindung liwung amba minta tulung ing Tuwan;
tulungana amba ing ganjaran wisesa, cemeti Ratu Sugih, ya aku rajek wesi Purasami,
saking Swarga, Jalalu'llah padang Jayakusuma, remek rempu ivong sanagara kabeh,
Lailaliaillattah."u

Para wall juga memasyarakatkan ungkapan interjeksi untuk peristiwa
penting, mendadak atau mengharukan. Misalnya kata La Haaha illallah harus
senantiasa dibaca, supaya kita hidup berbahagia di dunia dan di akherat.
Atau kata Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un sebagai bacaan di saat-saat kecewa,
kehilangan, kematian atau kesusahan. Juga kata La hawla wala
quwwata ilia billahil 'aliyyil 'adhim bila ada tindak laku yang buruk dan tidak
baik. Tidak lupa harus membaca Bismillah bila hendak memulai sesuatu
pekerjaan.15

Sunan Kalijaga dan wali lainnya dapat menarik perhatian sehingga di
minta menjadi guru oleh para sentana keratin. Ini menjadi tanda dan bukti
bagaimana mereka bisa membawakan diri dengan cara-cara pergaulan
yang bersesuaian dengan golongan-golongan tinggi itu. Pada sisi lain, terhadap
awam mereka tidak lupa menjaga harga diri agar kehebatan mereka
tetap memancarkan wibawa yang mendatangkan penghormatan dan ketaatan.
Wali-wali itu membuat jasa dalam segala bidang kemasyarakatan.

"Primbon para Wali, p. 31, sadu Budi Sola. Pilihan tengah malarn sebagai waktu untuk
bermohon, mungkin di maksudkan oleh Sunan Kalijaga sebagai pendidikan ke arah shalat
tahajjud secara tidak langsung, yaitu suatu metode yang oleh Langeveld di sebut tujuan
sementara. Sedangkan pembakaran dupa di maksudkan sebagai tujuan sementara pula, yaitu
agar rakyat Jawa yang masih tebal Hindu-Budha-Animisme itu tidak terkejut. Hal ini sering
kali dipergunakan oleh kaum Muslimin sekarang terhadap anak-anak mereka. Misalnya,
meskipun makan pada siang hari terlarang pada bulan puasa, tetapi agar anak-anak merasa
kuat dan tidak terkejut, maka setelah tiba waktu zuhur atau asar, anak-anak diperbolehkan
makan. Itulah poso bedug namanya, yaitu puasa sampai tengah hari. Hal ini dilakukan untuk
menyesuaikan dengan kekuatan dan alam pikiran anak-anak itu. Boleh jadi Sunan Kalijaga
menyadari membakar dupa itu bukanlah syarat shalat tahajjud, atau bahkan mungkin
membawa bid'ah. Tetapi demi siasat, ditempuh untuk sementara. Sedangkan kata sindung
liwung itu mungkin pula sekedar untuk pengantar bunyi agar bersajak dengan minta tolong
sebagai kata sampiran pada pantun.

15Widji Saksono, Mengislamkan Tatiah ]aiva; Telaah atas Metode Dakwali Walisongo, (Bandung:
Mizan, 1996), p. 107.

Sunan Kalijaga sangat berjasa dalam menaikkan kemakmuran dan produksi
tani, melipatkan hasil panen dengan penciptaan atau penyempurnaan alatalat
pertanian baru, bajak dan pacul.16 Jasa-jasa ini tentu mengangkat nama
mereka hingga menjadi harum dan tenar. Kenangan terhadap mereka yang
hingga kini masih menggema merupakan bukti yang fasih. Mungkin sekali
dasar pendirian para wali dalam pergaulan untuk menjaga adab, gengsi,
prestasi, dan posisi mereka di mata umat memang berasal dari tuntunan
Rasul.

Selain itu, melihat jejak sejarah yang mereka tinggalkan, agaknya
mereka merniliki sifat tidak banyak bicara tetapi banyak kerja dan banyak
pula beramal. Para wali senantiasa menyuruh langsung disertai dengan
memberikan contoh sebagai perintis kemajuan dalam masyarakat.
Dalam berdakwah, para wali menerapkan siasat yang bijaksana. Kalau
babad-babad menceritakan bahwa wali-wali itu kaya akan ilmu-ilmu kesaktian,
jaya kawijayan,17 mereka wicaksana, sugih srana Ian waskita marang
agal a/us,18 kemungkinan hal itu sebagaian besar lantaran kemampuan dan
kelihaian mereka mengatur siasat dan strategi. Sedemikian rupa hebat dan
tepatnya mereka membuat sistem pendekatan psikologis, sehingga sangat
menguntungkan bagi wali-wali itu, dan juga menguntungkan bagi Islam
yang mereka sampaikan.

Banyak bukti yang tersisa dan dapat dilihat sampai sekarang adalah
mereka memobilisasi alat ta'tsir psikologis yang berupa sensasi, conciliate,
sugesti, hipnosis sampai do cere. Karena sensasi inilah masyarakat awam
dipaksa secara halus untuk menaruh perhatian kepada para wali, dan
mengesampingkan yang selainnya. Karena conciliate, publik mengganggap
penting apapun yang datang dari para wali. Karena sugesti, rakyat didorong
berbuat sesuatu sehingga bergerak tanpa banyak tanya. Karena
hipnosis, rakyat terpukau akan segala sesuatu yang bermerek dan berstempel
wali tanpa banyak selidik dan kritik, masuk atau tidak masuk akal,
bahkan kadang-kadang menggelikan. Semua itu mereka telan mentahmentah,
pokoknya asal ada label wali, mereka setujui dan mereka tolak
kemustahilannya. Selanjutnya, karena do care para wali dapat mengendalikan
dan mengarahkan awam sebagai objek dakwahnya ke mana saja yang
mereka kehendaki.

"Djawatan Bimbingan Soslal Kementerian Sosial RI, Cujm Manik Astagina, (Yogyakarta
:Siswaatmadja,1952), p. 20.


17Wid)i Saksono, Mengislamkan Tanah ]awa..., p. 109.
"Atmodarminto, Babad Demak, (Yogyakarta : Pesat, 1955), p. 108.
Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 131
Sehubungan dengan itu, muncul Sunan Kalijaga dengan sensasinya
melalui Gamelan Sekaten dan Saka Tatal di Masjid Demak yang dicipta
dari tatal kecil setnalaman saja cuma dengan sabda. Muncul pula Sunan
Bonang dengan hipnotisnya yang membuat rakyat tidak berdaya karena
daya mukjizat beliau berupa mantra-mantra yang menurut Schrieke,19 terdiri
atas ucapan sebagai berikut:
"Jeleg kudengkreng simaning umat kabeh, ya ingsun kang wasesa sakurebing langit,
salumahing pertala. Pet perpet dadi lesus. Sun kang angrehjagad kabeh Hu Allah,"
Atau:

"Agedong sugema, kancing sugema, atutup sugema, jati ivisesa lanyep ing wujudu'llah
ihra' Hang tunggal ananing Allah, Huwa ilia Hah. "20

Di samping pendekatan psikologis sebagaimana dikemukakan diatas,
dalam berdakwah, para wali tetap secara efektif menggunakan dukungan
media audio visual. Bukti-bukti menunjukkan bahwa para wali menguasai
ilmu-ilmu agama dari fiqh dan syari'at bahkan tasawuf dan mistik. Lebih
dari itu, mereka sangat menaruh perhatian dan menguasai pula masalahmasalah
kehidupan kemasyarakatan. Masalah tersebut antara lain tercakup
dalam tujuh lapangan kehidupan seperti kejasmanian dan kesehatan, tatakehidupan
dan kemakmuran masyarakat, politik dan kenegaraan, pengetahuan,
pendidikan, dan pengajaran, kebudayaan, kesenian, hiburan, dan
kegiatan yang bermanfaat lainnya, misalnya khusus dalam keagamaan
seperti peribadatan, akidah, mistik dan segala seginya.

Berkenaan dengan masalah kejasmanian dan kesehatan, Sunan
Gunung Jati sebagai ketua seksi atau menteri urusan ini. Beliaulah yang
bertugas memikirkan masalah-masalah kesehatan dan pengobatan lahir
dan batin. Pengobatan lahir yang harus diatasi dengan obat-obat maddiyah
(lahiriah) seperti dari daun-daun dan akar-akaran; kesehatan dan pengobatan
batin diatasi dengan pengobatan spiritual, kejiwaan, firasat, jampijampi
dan mantra-mantra oleh beliau diganti dengan doa-doa tolak bala.21
Jadi beliau memang telah mencukupi persyaratan untuk disebut sebagai
ketua seksi psikosomatik.

Selanjutnya, masalah kekeluargaan dan kerumahtanggaan. Sebagai
inti sosial paling elementer lembaga keluarga dan rumah tangga mendapat
perhatian khusus. Untuk ini, Sunan Ampel memikirkan dan menyusun
"Widji Saksono, Mengislamkan Tanah ]awa..., p. 110.
31R. Tanojo, Walisana, p. 190, bait no. 6.

aturan-aturan dan perdata kekeluargaan. Dalam hal ini mencakup perkara
dan hukum munakaliat (perkawiman) yang bersangkutan dengan soal-soal
khitbah (peminangan), nikah, talak, dan rujuk. Dilengkapi pula dengan
hukum-hukum usrah (keluarga), dan upacara-upacaranya.22 Seperti azan
dan iqamah (panggilan segera mendirikan sholat) ketika bayi lahir, pemberian
nama, 'aqiqah (]w.: kekah), khitan, walimah, hadhanah, muwalah,
wiratsah, dan wasiyah (wasiat), slametan (shadaqah)
Perlengkapan yang diperlukan bagi kesejahteraan rumah tangga, mendapat
perhatian dan diislamisasikan oleh para wall. Perlengkapan dan peralatan,
bentuk-bentuk rumah ditangani oleh Sunan Drajat; alat-alat dapur
dan pecah belah oleh Sunan Majagung; perlengkapan pertanian, transportasi
dan pengangkutan oleh Sunan Gresik, sedangkan perabot besi serta
logam oleh Sunan Kudus.

Berkenaan dengan masalah perekonomian dan kemakmuran, tampil
pula Sunan Majagung sebagai nayaka (menteri) urusan ini. Beliau antara
lain memikirkan masalah halal-haram, masak-memasak, makanan, ikanikanan
serta daging-dagingan. Untuk efisiensi dalam perekonomian beliau
berijtihad tentang kesempurnaan alat-alat pertanian, perabot dapur, pecah
belah. Dalam pada itu, Sunan Kalijaga menyumbangkan karya-karya yang
berkenaan dengan pertanian seperti filsafat bajak dan cangkul. Dengan
membuat jasa dalam bidang kemakmuran rakyat melalui penyempurnaan
sarana dan prasarana menjadi lebih sempurna itu ia berharap menarik
perhatian dan ketaatan masyarakat ,23

Di samping menjadi alat kemakmuran yang melipatgandakan produksi
ekonomi serta mempermudah hidup dan menghemat waktu, bagi Sunan
Kalijaga, luku (bajak) dan pacul (cangkul) sekaligus menjadi alat dakwah
dan pendidikan ruhani serta keimanan yang sangat populer dan praktis.
Dengan luku, yang menurut Sunan Kalijaga memiliki tujuh bagian, diajarkan
suatu falsafah hidup yang dalam serta mulia untuk mencapai cita
dan tujuan hidup. Dengan pacul, yang menurut Sunan Kalijaga terdiri atas
tiga bagian, diajarkan jalan kehidupan yang harus ditempuh agar bahagia
mencapai cita-cita yang tinggi.
Falsafah luku dan pacul Sunan Kalijaga dalam kitab Cupu Manik Astagina
dijelaskan secara rinci. Bajak atau luku memiliki tujuh bagian. Masingmasing
bagian itu ialah cekelan (pegangan), berarti orang yang ingin menh.
Adrian, Tata Cora Indonesia (Jawa) yang Cocok dengan Keislaman, (Solo: Nawa Windu
Radyapustaka, t.t.), p. 43 - 45.

"Djawatan Bimbingan Sosial Kementerian Sosial RI, Cupu Manik Astagina, p. 20.

Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 133

capai sesuatu cita-cita, harus mempunyai pegangan, bekal cukup, dan berpegang
teguh atas bekal yang telah dimiliki itu. Pancatan, mancat artinya
bertindak, maksudnya kalau kita telah mempunyai pegangan cukup bekal
yang diperlukan, segeralah bertindak, mengerjakannya, jangan ditundatunda
lagi. Tanding artinya membanding-bandingkan, maksudnya setelah
bertindak pikiran kita harus berjalan membanding-banding meneliti dan
sebagainya. Singkal diartikan metu saka ing akal keluar akal atau siasat,
maksudnya setelah kita memikir-mikir, membanding-banding dan meneliti,
maka akan terdapatlah sesuatu akal, suatu siasat untuk berhasil dalam
pekerjaan kita. Kajen artinya kesawijen ialah kesatuan atau pemusatan,
maksudnya bila kita telah mendapat akal atau siasat perlu kita persatukan
semua tenaga dan pikiran. Olang-aling artinya barang yang menutupi,
maksudnya setelah kita mempersatukan segala tenaga pikiran untuk mengejar
cita-cita itu, maka seakan-akan cita-cita yang kita ingini terbayang
di muka kita, tak ada yang menutupi. Racuk diartikan ngarah sing pucuk
yaitu menghendaki yang paling atas atau paling tinggi. Maksudnya bila
kita mengejar cita-cita dan melaksanakan seperti petunjuk-petunjuk di atas,
maka meskipun cita-cita itu sangat tinggi akan tercapai jua akhirnya.
Sekarang giliran falsafah pacul. Setelah habis membajak, maka terdapatlah
tanah di sudut-sudut sawah yang belum terbajak. Ini menggambarkan
bahwa dalam menjalankan sesuatu tentu ada kekurangankekurangan
dan rintangan-rintangannya. Kekurangan dan rintangan itu
harus diatasi, maka petani perlu menggunakan pacul, yang mempunyai
tiga bagian. Masing-masing bagian memiliki arti spesifik pula. Pacul, diartikan
ngipatake kang muncul artinya menjauhkan apa yang muncul. Maksudnya
bahwa dalam menjalankan sesuatu yang baik, tentu timbul godaan
dan kesulitan-kesulitan. Godaan-godaan itu harus di buang dan dilemparkan
jauh-jauh. Bawak, diartikan obahing awak yaitu geraknya badan atau
kerja. Maksudnya agar melemparkan godaan-godaan dengan kerja keras
dan giat sehingga tidak ada waktu yang terluang. Dengan demikian akan
kalahlah semua godaan-godaan, sesuai dengan peribahasa, "Berpangku
tangan menjadi bantal setan." Bagian terakhir ialah doran, diartikan ndedongo
marang Pangeran, yaitu berdoa atau memuji kepada Tuhan. Di sini dimaksudkan
bahwa bila kita mengejar cita-cita yang baik dengan segala
usaha dan amalan badaniah, maka segala daya upaya dalam mengatasi
godaan-godaan dan rintangan-rintangan itu, kita tidak boleh lupa kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar mendapat rahmat dari-Nya, semoga kiranya
Tuhan mengabulkan cita-cita kita itu. Dengan begird maka pencapaian citacita
tidak membelokkan kita kearah kepentingan diri sendiri tetapi untuk

Tuhan dan kebahagiaan masyarakat. Selain itu, menghalangi kita agar tidak
menjadi takabur, tetapi tetap rendah hati karena insaf bahwa segalanya
tidak akan terjadi bila tidak dengan seizin dan pertolongan Allah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :Ada dua faktor elemen
yang menopang keunggulan dan keistimewaan para wali sehingga mereka
berhasil dalam perjuangannya mengislamkan masyarakat Jawa. Faktor
pertama para wali menjadikan ajaran-ajaran Islam tidak menjadi inklusif
di penuhi oleh perintah dan larangan syariat. Mereka juga tidak hanya
bertujuan agar nilai Islam dimengerti oleh rakyat, tetapi lebih dari itu,
mereka berusaha agar Islam diamalkan dalam kehidupan nyata. Faktor
kedua ialah mereka telah membuktikan diri sebagai mujtahid ulung yang
memahami Islam sebagai suatu nazhari (teori) ataupun sebagai gagasan
yang abstrak. Bahkan mereka pun menaruh perhatian, memiliki pengetahuan
dan sikap tegas terhadap persoalan kemasyarakatan zaman mereka sebagai
suatu kenyataan aktual dan konkret. Islam di pahami sebagai das
sollen (cita dan keharusan) sedangkan masyarakat Jawa sebagai das sein
(realitas). Keduanya mereka perhitungkan dengan paduan kompromi
dalam strategi, dan harmoni dalam langkah Islamisasi. Disinilah pentingnya
sebuah dakwah Budaya di masyarakat yang multi kultural.