Pada masa awal
kedatangan Islam di kepulauan Nusantara, khususnya
Jawa, masyarakat Jawa telah
menganut dan memiliki berbagai kepercayaan
1HJ. Benda," Kontinuitas dan
Perubahan dalam Islam di Indonesia," dalam Taufik Abdullah
(Editor), Islam di Indonesia, (Jakarta
: Tintamas,1975), p. 33.
Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan)
123
dan agama, yakni
Animisme-Dinamisme dan Hindu- Budha. Budaya Jawa
asli yakni Religi
animisme-dinamisme telah berkembang semenjak masa
pra-sejarah. Dalam agama jawa ada
pemikiran bahwa dunia ini juga
didiami oleh ruh-ruh halus dan
kekuatan-kekuatan gaib. Orang percaya
dapat mengadakan hubungan
langsung untuk meminta bantuan atau untuk
menguasai ruh-ruh dan
kekuatan-kekuatan gaib bagi kepentingan duniawi
dan rohani mereka.
Pada masa Hindu-Budha, budaya
Jawa asli tersebut, ditumbuh
kembangkan. Para cendikiawan Jawa
menyadap dan mengolah unsurunsur
Hinduisme bagi pengembangan dan
penghalusan budaya Jawa. Satu
hal yang perlu dicatat bahwa
Hinduisme mempunyai dasar pikiran yang
sejajar atau sejalan dengan
religi animisme-dinamisme, yakni bahwa
manusia bisa menjalin hubungan
dengan dewa-dewa dan ruh-ruh halus.
Bahkan dengan laku tapa brata manusia
bisa menjadi sakti dan bersatu
dengan dewanya. Jadi pengaruh
Hinduisme justru menyuburkan dan
meningkatkan laku keprihatinan.
Kemudian ketika kedatangan agama
Islam yang mulai menyebar di
Indonesia semenjak abad ke-13 M,
ternyata juga tidak mengganggu budaya
asli animisme-dinamisme di Jawa.
Hal ini dikarenakan budaya asli ini
mempunyai watak yang elastis
sehingga dapat menyusup dalam Islam
pesantren. Karena yang menyebar
ke Indonesia adalah Islam Sufi, maka
agama Islam yang ajarannya telah
dimistikkan mengalami perkembangan
dengan sangat cepat .Hal ini
karena ajaran Islam ini disebarkan melalui
pendekatan Budaya. Pendekatan
budaya dimaksud adalah penerapan
metode-metode dakwah dengan
mempergunakan budaya local, sebagaimana
paparan berikut.
A. Metode al-Hikmah
Metode ini sebagai sistem dan
cara berdakwah para wali merupakan
jalan kebijaksanaan yang
diselenggarakan secara populer, atraktif dan
sensasional. Cara ini mereka
pergunakan dalam menghadapi masyarakat
awam. Dengan tata cara yang amat
bijaksana, masyarakat awam itu
mereka hadapi secara massal.
Kadang-kadang terlihat sensasional, bahkan
ganjil dan unik sehingga menarik
perhatian umum. Dalam rangkaian
metode ini kita dapati Sunan
Kalijaga dan Sunan Kudus.
Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekatennya.2
Atas usul Sunan Kalijaga,
!Ki Siswoharsojo, Guna Cara
Agama, Cet.2 (t.p.:Yogyakarta,1955), p. 21-22.
124 Aplikasia, Jurnal Aplikasi
llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:122-141
maka dibuatlah keramaian Sekaten
atau syahadatayn (dua kalimat persaksian
kunci keislaman), yang diadakan
di Masjid Agung dengan memukul gamelan
yang sangat unik dengan
langgam-lagu maupun komposisi instrumental
yang telah lazim masa itu.
Keramaian diadakan menjelang hari peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw. Selain
itu, Sunan Kalijaga juga mengarang
lakon-lakon wayang baru dan
menyelenggarakan pergelaran-pergelaran
wayang.3 Sedangkan upah baginya
sebagai dalang, ialah berupa kalimat
syahadat. Dengan kalimat
syahadat beliau baru mau dipanggil untuk memainkan
sesuatu lakon wayang. Pergelaran
wayang biasanya diselenggarakan
dalam rangka meramaikan suatu
pesta atau upacara peringatan. Pada
kesempatan seperti inilah
disampaikan nilai-nilai tauhid kepada masyarakat
awam dengan menempuh dakwah
melalui cerita-cerita wayang yang pada
masa itu sangat digemari
masyarakat awam.
Metode di atas juga diterapkan
oleh Sunan Kudus. Dengan lembunya
yang nyentrik karena dihias
istimewa merealisasikan kiat lain dalam menerapkan
prinsip dakwah.4 Diceritakan
bahwa Sunan Kudus pernah mengikat
seekor lembu di alaman masjid,
sehingga masyarakat yang ketika itu
masih memeluk agama Hindu datang
berduyun-duyun menyaksikan lembu
yang diperlakukan secara istimewa
dan aneh itu. Sesudah mereka datang
dan berkerumun di sekitar masjid,
Sunan Kudus lalu menyampaikan
dakwahnya. Cara ini sangat
praktis dan strategis. Seperti diketahui, lembu
merupakan binatang keramat dan
menarik hati orang Hindu. Menyaksikan
bahwa lembu tidak dihinakan oleh
Sunan Kudus, terbitlah minat dan
simpati masyarakat penganut
Hindu.
Selain itu metode ini juga banyak
dipakai oleh Wali yang lain dalam
usahanya mengislamkan masyarakat
Jawa,yaitu dengan menggubah hal
lama yang tidak bersesuaian
dengan Islam. Sunan Ampel, menyusun
aturan-aturan syariat islam bagi
orang-orang Jawa. Sunan Gresik mengubah
pola dan motif batik, lurik dan
perlengkapan kuda. Sunan Majagung
menyempurnakan masakan, makanan,
usaha dan peralatan pertanian serta
barang pecah-belah. Sunan Gunung
Jati memperbaiki doa mantra (pengobatan
batin), firasat, jampi-jampi
(pengobatan lahir) dan hal-hal yang berkenaan
dengan urusan pembukaan hutan,
trasmigrasi ataupun pembangunan
desa baru. Sunan Giri menyusun
peraturan-peraturan tata-
JD.A. Rinkes, De Helligen Van
]ctm, Jilid V, p. 150.
Solichin Salam, Sunan Kudus,
Riwayat Hidup serta Perjuangannya (Kudus: Menara Kudus
t.t)p. 17.
Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 125
kerajaan, tata-istana, aturan
protokoler kerajaan Jawa, mengubah perhitungan-
perhitungan dari bulan, tahun,
windu, masa, dan memulai
pembuatan kertas. Sunan Bonang
menciptakan aturan-aturan serta kaidah
keilmuan dan memperbaiki
serba-serbi gamelan, lagu dan nyanyian. Sunan
Drajat mengubah bentuk rumah,
alat angkutan (seperti kuda, joki, dan
sebagainya).
B. Metode Tadarruj atau Tarbiyatul
Ummah
Metode ini dipergunakan sebagai
proses klasifikasi yang disesuaikan
dengan tahap pendidikan umat.
Agar ajaran Islam dapat dengan mudah
dimengerti oleh umat dan akhirnya
dijalankan secara merata, maka metode
yang ditempuh oleh Walisongo
didasarkan atas pokok pikiran li kulli maqam
maqam yaitu
memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat, ada tingkat,
bidang materi dan kurikulumnya.
Sesuai dengan cara ini, penyampaian
fiqih ditujukan bagi masyarakat
awam dengan jalan pesantren dan melalui
lembaga sosial.
Dalam lingkungan pesantren
disediakan pengajaran dan pendidikan
bagi masyarakat umum yang ingin
belajar takhassus (mengkaji secara intens
dan khusus) masalah fiqih dan
syariat. Untuk menjadi peserta, tidak diajukan
persyaratan tertentu karena
memang dibuka untuk umum yang
memang berminat. Selanjutnya,
metode lembaga sosial. Melalui pendidikan
sosial atau usaha-usaha
kemasyarakatan diupayakan agar ajaran-ajaran
Islam yang bersifat praktis dapat
menjadi tradisi yang memungkinkan
terciptanya adat lembaga Islam
yang bersifat normatif. Dengan begitu,
diharapkan anggota masyarakat secara
sadar atau tidak sadar menjalankan
ajaran serta amalan-amalan Islam
atau lembaga sosial, misalnya menjadikan
masjid sebagai lembaga
pendidikan, merayakan upacara kelahiran,
perkawinan, kematian, lembaga
kekeluargaan, khitan, dan sebagainya.
Sesuai dengan karakter yang
termuat di dalamnya, maka ilmu kalam
atau tauhid disampaikan sebagai ta'lim
(pengajaran) melalui pesantren,
dan diberikan bagi orang-orang khawas
secara terbatas. Sedangkan untuk
menyampaikan nilai-nilai tauhid
kepada masyarakat awam ditempuh
dakwah melalui cerita-cerita
wayang. Untuk kepentingan itu, antara lain
diciptakan lakon Dewa Ruci,
Jimat Kalima Soda, dan dikarang pula kitabkitab
bacaan umum semisal Kitab
Ambiyo (Kitab Al- Anbiya) yang berisi
riwayat nabi-nabi.
Selanjutnya, ilmu tasawuf, yang
oleh Sunan Bonang disebut ushul
suluk? Ilmu ini
disampaikan melalui wind, yaitu pengajaran dengan wejang-
'Schrieke, Hit Boek Van
Bonang, (Leiden: Proefschrif Univ Leiden, 1916), p. 92.
126 Aplikasia, Jumal Aplikasi
llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:122-141
an secara rahasia, tertutup dan
sangat eksklusif. Tempat dan waktunya
ditentukan secara rahasia pula.
Wirid ilmu tasawuf hanya disediakan bagi
orang-orang tertentu yang telah
berlemek atau memiliki basis yang memang
diperlukan bagi laku suluk,
thariq, thariqat.6 Ketentuan ini disamping atas
suatu kelaziman karena tasawuf
merupakan ilmu lanjut yang dengan
sendirinya menuntut suatu ilmu
dasar, juga demi mejaga keliru paham,
salah pengertian dan salah
penggunaan terhadap ilmu ini.
Contoh bagi semua ini ialah
antara lain ketika Raden Fatah menyatakan
ingin berguru agama kepada Sunan
Ampel, maka Raden Fatah di tanya
lebih dulu apakah sudah memiliki
dasar. Setelah mengetahui dasar yang
dimilikinya kemudian Raden Fatah
tidak lagi diharuskan masuk pondok
pesantren, tetapi langsung
ditempatkan dalam derajat lingkaran ivirid.
Raden Fatah memang membawa bekal
ilmu yang sebelumnya ia miliki sejak
dari Palembang.7
C. Metode Pembentukan dan
Penanaman Kader, serta Penyebaran Juru
Dakwah ke Berbagai Daerah
Dikarenakan tempat yang menjadi
sasaran dakwah adalah daerahdaerah
yang kosong dari pengaruh Islam,
maka Sunan Kalijaga mengkader
Kiai Cede Adipati Pandanarang
untuk berhijrah ke Tembayat dan mengislamkan
masyarakat di daerah itu dan
sekitarnya. Kiai Cede Pandanarang
kemudian dikenal sebagai Sunan
Tembayat.8 Selain itu, Sunan Kalijaga juga
mendidik Ki Cakrajaya dari
Purworejo dan setelah menjadi wali nawbah
dianjurkan pindah ke Lowanu agar
mengislamkan masyarakat disekitar
daerah itu.9 Sunan Ampel menyuruh
Raden Fatah berhijrah ke hutan
Bintara, membuka hutan itu dan
membuat perkampungan atau kota baru,
lalu mengimami masyarakat yang
baru terbenruk nanti. Lebih lanjut Bintara
ini berkembang menjadi Demak,
markas dan basis perjuangan Islam pada
masa lebih lanjut.10 Selain itu,
misalnya Sayyid Ya'qub atau yang lebih
dikenal sebagai Syaikh Wali
Lanang di kirim ke Blambangan " untuk
mengislamkan Prabu Satmudha.
Sedangkan Khalifah Kusen (Husain) ke
Madura untuk mengislamkan Arya
Lembupeteng, dan Iain-lain.
'D.A. Rinkes, De Hdligen Van
}wa, IV:533 no.15.
T?. Tanojo, Walisana.,(Solo:
TB.Sadu Budi, t.t), p. 54-55.
"D.A. Rinkes, De Helligen
Van Java, p. 21.
'Ibid., Ill: 275,
tentang Sunan Geseng.
10R. Tanojo, Walisana, p.
79-80.
"Ibid., p. 21.
Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 127
Tidak berlebihan bila disimpulkan
bahwa para Walisongo telah berhasil
mengislamkan tanah Jawa, karena
telah menggunakan budaya sebagai pendekatannya.
Dengan demikian para Wali
tersebut telah meneladani dakwah
yang pernah diperbiiat oleh
Rasulullah Saw.
Sesuai dengan prinsip
keorganisasian, forum Walisongo merupakan
suatu kerja sama yang harmonis. Walisana12
memberikan tugas dan inisiatif
yang dipegang oleh masing-masing
wali sehingga merupakan suatu pembagian
tanggung jawab dan kerja sama
wali-wali dalam kesatuan jamaah.
Dalam keadaan tersebut
masing-masing wali merupakan ketua-ketua seksi
penanggung jawab. Sementara isi
materi pelaksanaan tanggung jawab itu
berasal dari sumbangan, buah
pikiran serta keahlian yang ada pada mereka
masing-masing. Sebagai contoh,
meskipun persoalan lagu-lagu adalah tugas
dan tanggung jawab Sunan Bonang
dan Sunan Kalijaga,13 namun para
wali yang lain juga ikut
mengarang lagu-lagu untuk menopang seksi yang
diketuai Sunan Bonang dan Sunan
Kalijaga itu. Seperti Sunan Giri
mengarang lagu langgam Asmaradana,
sedang Sunan Majagung lagu
Maskumambang. Atau bidang
pertanian yang sebenarnya adalah bagian
dari tugas Sunan Majagung, tetapi
Sunan Kalijaga menyumbangkan kecakapannya,
yaitu menyempurnakan bentuk pacul
dan luku.
Di samping menjadikan forum
Walisongo secara efektif sebagai orgartisasi
dan alat kepentingan dakwah, para
wali menggunakan media baik
bersifat psikologis maupun
material dengan kiat yang lebih luas. Dalam
dakwahnya, terbukti bahwa mereka
tidak melupakan faktor dan gejalagejala
psikologis. Segi-segi psikologis
ini mereka perhatikan dan mereka
manfaatkan untuk menyiasati
masyarakat yang menjadi sasaran dakwah
mereka. Ini sebagai bukti bahwa
dakwah yang disampaikan oleh para Wali
songo juga dibina menurut
tuntunan Rasul.
Di samping mendasarkan argumen di
atas prinsip rasional, mudah
diterima akal dan atas prinsip
emosional bersesuaian dengan cita-rasa
manusia, mengetuk pintu hati;
maka tidak jarang pula wali-wali itu mendasarkan
pelaksanaan dakwahnya dengan
unik, yaitu dengan dalil
argumentasi aksiomatik yang
secara otomatis sangat jitu. Sebagai contoh,
setelah para wali melakukan kisas
atas diri Syaikh Siti Jenar yang dituduh
bid'ah, musyrik, ibahiyah, absurd,
dan sangat berbahaya bagi usaha mengislamkan
rakyat yang masih sangat muallaf
(baru menerima islam) dan
"Ibid., p. 192-193.
"IbiA., p. 190-209.
128 Aplikasia, Jumal Aplikasi
llmu-ilmuAgama, Vol. IV, No. 2 Desember2003:122-141
mudah di selewengkan itu, para
wall mengubur jenazah Syaikh dengat
sangat rahasia. Bahkan Sultan
Demak sendiri tidak tahu hal ihwal yang
sebenarnya. Jenazah itu kemudian
diganti dengan bangkai anjing kurus,
merah, kudisan, dan menjijikkan
yang ditaruh pada keranda mati. Semua
itu sebagai tamsil peringatan
atas diri Sultan dan juga bagi publik awam
yang sangat menaruh perhatian dan
tertarik pada ajaran Syaikh Lemah
Abang. Di samping itu, juga
dimaksudkan agar mereka menyimpulkan
sendiri dan membenarkan tindakan
wali-wali, dan sebaliknya menjauhi
dan membenci ajaran-ajaran Syaikh
Lemah Abang. Lebih dari itu, bila
mengikuti Syaikh Siti Jenar
berarti menanggung nasib sebagaimana yang
mereka lihat dan yakini dengan
mata kepala sendiri. Atau dari berita-berita
raja yang diundangkan secara
resmi, berita dari mulut ke mulut di seantero
Kerajaan Demak, kematian Syaikh
Lemah Abang sangat aneh dan menyeramkan,
ia telah berubah menjadi bangkai
anjing yang sangat hina dan
menjijikkan "Banke kirik
kudisen". Itulah laknat dan kehinaan sebagai akibat
kesesatan dan keganjilannya.
Demikianlah, wali-wali itu berhasil menarik
publik ke arah paham mereka yang sunni
dan menjauhkannya dari ajaran
Syaikh Lemah Abang yang bid'iy
dan sesat.
Sukses ini terjadi secara merata
di dalam wilayah daerah Kerajaan
Demak. Bahkan para wali telah
berhasil mempengaruhi Sultan Demak
sehingga menggantungkan bangkai
anjing "jenazah Syaikh Siti Jenar" itu,
di perempatan jalan yang ramai.
Maklumat ini disertai ancaman lengkap
dengan hal-ihwal dan akibatnya,
yang mengandung tamsil ibarat nasib
malang yang akan menimpa dan
menjadi bagian bagi setiap orang yang
berani menghina agama dan berlaku
bid'ah seperti Siti Jenar. Nasib yang
malang dan hina itu ialah di
dunia akan dipidana oleh raja dengan hukuman
qisas dan di akherat
kelak akan mendapat kehinaan dari Tuhan Yang Maha
Esa, yaitu dijadikan kirik
kuru gudiken (anjing kecil kurus kudisan) dan
bukan manusia lagi karena
berani-berani menyekutukan Tuhan. Inilah suatu
dosa musyrik yang tidak
terampunkan dan tidak tertobatkan.
Selain itu, sebagai bukti
penggunaan uslub yang bijaksana terlihat pada
pelaksanaan dakwahnya, wali-wali
itu menciptakan lambang-lambang,
simbol, rumus, dan semboyan yang
dapat menarik orang kepada Islam.
Untuk itu, mereka menciptakan
kidung-kidung sebagai nyanyian agama
dan keramat seperti Kidung
Rumeksa ing Wengi ciptaan Sunan Kalijaga.
Mereka juga mengubah mantra
menjadi doa yang sesuai dengan tuntunan
Islam. Mantra-mantra itu diawali
dengan basmallah dan diakhiri dengan
ilia', misalnya ialah
lafaz Mantra Betuah (petuah) Sunan Kali, suatu bacaan
bila kita berhajat memohon apa
saja kepada Yang Menguasai Hidup (Sing
Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 129
Kuasa). Apa pun yang
akan kita mohonkan, hendaknya lafadh itu dibaca
saat istirahat waktu bedug
telu (tengah malam menjelang dini hari atau
fajar) di halaman rumah dengan
membakar kemenyan. Lafadhnya sebagai
berikut:
"Bismillaahirmhmaaninaheim,
sindung liwung amba minta tulung ing Tuwan;
tulungana amba
ing ganjaran wisesa, cemeti Ratu Sugih, ya aku rajek wesi Purasami,
saking Swarga,
Jalalu'llah padang Jayakusuma, remek rempu ivong sanagara kabeh,
Lailaliaillattah."u
Para wall juga memasyarakatkan
ungkapan interjeksi untuk peristiwa
penting, mendadak atau
mengharukan. Misalnya kata La Haaha illallah harus
senantiasa dibaca, supaya kita
hidup berbahagia di dunia dan di akherat.
Atau kata Inna lillahi wa inna
ilaihi raji'un sebagai bacaan di saat-saat kecewa,
kehilangan, kematian atau
kesusahan. Juga kata La hawla wala
quwwata ilia
billahil 'aliyyil 'adhim bila ada tindak laku yang buruk dan tidak
baik. Tidak lupa harus membaca Bismillah
bila hendak memulai sesuatu
pekerjaan.15
Sunan Kalijaga dan wali lainnya
dapat menarik perhatian sehingga di
minta menjadi guru oleh para sentana
keratin. Ini menjadi tanda dan bukti
bagaimana mereka bisa membawakan
diri dengan cara-cara pergaulan
yang bersesuaian dengan
golongan-golongan tinggi itu. Pada sisi lain, terhadap
awam mereka tidak lupa menjaga
harga diri agar kehebatan mereka
tetap memancarkan wibawa yang
mendatangkan penghormatan dan ketaatan.
Wali-wali itu membuat jasa dalam
segala bidang kemasyarakatan.
"Primbon para Wali, p.
31, sadu Budi Sola. Pilihan tengah malarn sebagai waktu untuk
bermohon, mungkin di maksudkan
oleh Sunan Kalijaga sebagai pendidikan ke arah shalat
tahajjud secara tidak langsung, yaitu
suatu metode yang oleh Langeveld di sebut tujuan
sementara. Sedangkan pembakaran
dupa di maksudkan sebagai tujuan sementara pula, yaitu
agar rakyat Jawa yang masih tebal
Hindu-Budha-Animisme itu tidak terkejut. Hal ini sering
kali dipergunakan oleh kaum
Muslimin sekarang terhadap anak-anak mereka. Misalnya,
meskipun makan pada siang hari
terlarang pada bulan puasa, tetapi agar anak-anak merasa
kuat dan tidak terkejut, maka
setelah tiba waktu zuhur atau asar, anak-anak diperbolehkan
makan. Itulah poso bedug namanya,
yaitu puasa sampai tengah hari. Hal ini dilakukan untuk
menyesuaikan dengan kekuatan dan
alam pikiran anak-anak itu. Boleh jadi Sunan Kalijaga
menyadari membakar dupa itu
bukanlah syarat shalat tahajjud, atau bahkan mungkin
membawa bid'ah. Tetapi demi
siasat, ditempuh untuk sementara. Sedangkan kata sindung
liwung itu mungkin pula sekedar
untuk pengantar bunyi agar bersajak dengan minta tolong
sebagai kata sampiran pada
pantun.
15Widji Saksono, Mengislamkan
Tatiah ]aiva; Telaah atas Metode Dakwali Walisongo, (Bandung:
Mizan, 1996), p. 107.
Sunan Kalijaga sangat berjasa
dalam menaikkan kemakmuran dan produksi
tani, melipatkan hasil panen
dengan penciptaan atau penyempurnaan alatalat
pertanian baru, bajak dan
pacul.16 Jasa-jasa ini tentu mengangkat nama
mereka hingga menjadi harum dan
tenar. Kenangan terhadap mereka yang
hingga kini masih menggema
merupakan bukti yang fasih. Mungkin sekali
dasar pendirian para wali dalam
pergaulan untuk menjaga adab, gengsi,
prestasi, dan posisi mereka di
mata umat memang berasal dari tuntunan
Rasul.
Selain itu, melihat jejak sejarah
yang mereka tinggalkan, agaknya
mereka merniliki sifat tidak
banyak bicara tetapi banyak kerja dan banyak
pula beramal. Para wali
senantiasa menyuruh langsung disertai dengan
memberikan contoh sebagai
perintis kemajuan dalam masyarakat.
Dalam berdakwah, para wali
menerapkan siasat yang bijaksana. Kalau
babad-babad menceritakan bahwa
wali-wali itu kaya akan ilmu-ilmu kesaktian,
jaya kawijayan,17 mereka wicaksana,
sugih srana Ian waskita marang
agal a/us,18
kemungkinan hal itu sebagaian besar lantaran kemampuan dan
kelihaian mereka mengatur siasat
dan strategi. Sedemikian rupa hebat dan
tepatnya mereka membuat sistem
pendekatan psikologis, sehingga sangat
menguntungkan bagi wali-wali itu,
dan juga menguntungkan bagi Islam
yang mereka sampaikan.
Banyak bukti yang tersisa dan
dapat dilihat sampai sekarang adalah
mereka memobilisasi alat ta'tsir
psikologis yang berupa sensasi, conciliate,
sugesti, hipnosis sampai do
cere. Karena sensasi inilah masyarakat awam
dipaksa secara halus untuk
menaruh perhatian kepada para wali, dan
mengesampingkan yang selainnya.
Karena conciliate, publik mengganggap
penting apapun yang datang dari
para wali. Karena sugesti, rakyat didorong
berbuat sesuatu sehingga bergerak
tanpa banyak tanya. Karena
hipnosis, rakyat terpukau akan
segala sesuatu yang bermerek dan berstempel
wali tanpa banyak selidik dan
kritik, masuk atau tidak masuk akal,
bahkan kadang-kadang menggelikan.
Semua itu mereka telan mentahmentah,
pokoknya asal ada label wali,
mereka setujui dan mereka tolak
kemustahilannya. Selanjutnya,
karena do care para wali dapat mengendalikan
dan mengarahkan awam sebagai
objek dakwahnya ke mana saja yang
mereka kehendaki.
"Djawatan Bimbingan Soslal
Kementerian Sosial RI, Cujm Manik Astagina, (Yogyakarta
:Siswaatmadja,1952), p. 20.
17Wid)i Saksono, Mengislamkan
Tanah ]awa..., p. 109.
"Atmodarminto, Babad
Demak, (Yogyakarta : Pesat, 1955), p. 108.
Dakwah Budaya Walisongo (Muh
Fatkhan) 131
Sehubungan dengan itu, muncul
Sunan Kalijaga dengan sensasinya
melalui Gamelan Sekaten dan Saka
Tatal di Masjid Demak yang dicipta
dari tatal kecil setnalaman saja
cuma dengan sabda. Muncul pula Sunan
Bonang dengan hipnotisnya yang
membuat rakyat tidak berdaya karena
daya mukjizat beliau berupa
mantra-mantra yang menurut Schrieke,19 terdiri
atas ucapan sebagai berikut:
"Jeleg
kudengkreng simaning umat kabeh, ya ingsun kang wasesa sakurebing langit,
salumahing
pertala. Pet perpet dadi lesus. Sun kang angrehjagad kabeh Hu Allah,"
Atau:
"Agedong
sugema, kancing sugema, atutup sugema, jati ivisesa lanyep ing wujudu'llah
ihra' Hang
tunggal ananing Allah, Huwa ilia Hah. "20
Di samping pendekatan psikologis
sebagaimana dikemukakan diatas,
dalam berdakwah, para wali tetap
secara efektif menggunakan dukungan
media audio visual. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa para wali menguasai
ilmu-ilmu agama dari fiqh dan
syari'at bahkan tasawuf dan mistik. Lebih
dari itu, mereka sangat menaruh
perhatian dan menguasai pula masalahmasalah
kehidupan kemasyarakatan. Masalah
tersebut antara lain tercakup
dalam tujuh lapangan kehidupan
seperti kejasmanian dan kesehatan, tatakehidupan
dan kemakmuran masyarakat,
politik dan kenegaraan, pengetahuan,
pendidikan, dan pengajaran,
kebudayaan, kesenian, hiburan, dan
kegiatan yang bermanfaat lainnya,
misalnya khusus dalam keagamaan
seperti peribadatan, akidah,
mistik dan segala seginya.
Berkenaan dengan masalah
kejasmanian dan kesehatan, Sunan
Gunung Jati sebagai ketua seksi
atau menteri urusan ini. Beliaulah yang
bertugas memikirkan
masalah-masalah kesehatan dan pengobatan lahir
dan batin. Pengobatan lahir yang
harus diatasi dengan obat-obat maddiyah
(lahiriah) seperti dari daun-daun
dan akar-akaran; kesehatan dan pengobatan
batin diatasi dengan pengobatan
spiritual, kejiwaan, firasat, jampijampi
dan mantra-mantra oleh beliau
diganti dengan doa-doa tolak bala.21
Jadi beliau memang telah
mencukupi persyaratan untuk disebut sebagai
ketua seksi psikosomatik.
Selanjutnya, masalah kekeluargaan
dan kerumahtanggaan. Sebagai
inti sosial paling elementer
lembaga keluarga dan rumah tangga mendapat
perhatian khusus. Untuk ini,
Sunan Ampel memikirkan dan menyusun
"Widji Saksono, Mengislamkan
Tanah ]awa..., p. 110.
31R. Tanojo, Walisana, p.
190, bait no. 6.
aturan-aturan dan perdata
kekeluargaan. Dalam hal ini mencakup perkara
dan hukum munakaliat (perkawiman)
yang bersangkutan dengan soal-soal
khitbah (peminangan),
nikah, talak, dan rujuk. Dilengkapi pula dengan
hukum-hukum usrah (keluarga),
dan upacara-upacaranya.22 Seperti azan
dan iqamah (panggilan
segera mendirikan sholat) ketika bayi lahir, pemberian
nama, 'aqiqah (]w.: kekah), khitan,
walimah, hadhanah, muwalah,
wiratsah, dan wasiyah (wasiat),
slametan (shadaqah)
Perlengkapan yang diperlukan bagi
kesejahteraan rumah tangga, mendapat
perhatian dan diislamisasikan
oleh para wall. Perlengkapan dan peralatan,
bentuk-bentuk rumah ditangani
oleh Sunan Drajat; alat-alat dapur
dan pecah belah oleh Sunan
Majagung; perlengkapan pertanian, transportasi
dan pengangkutan oleh Sunan
Gresik, sedangkan perabot besi serta
logam oleh Sunan Kudus.
Berkenaan dengan masalah perekonomian
dan kemakmuran, tampil
pula Sunan Majagung sebagai nayaka
(menteri) urusan ini. Beliau antara
lain memikirkan masalah
halal-haram, masak-memasak, makanan, ikanikanan
serta daging-dagingan. Untuk
efisiensi dalam perekonomian beliau
berijtihad tentang kesempurnaan
alat-alat pertanian, perabot dapur, pecah
belah. Dalam pada itu, Sunan
Kalijaga menyumbangkan karya-karya yang
berkenaan dengan pertanian
seperti filsafat bajak dan cangkul. Dengan
membuat jasa dalam bidang
kemakmuran rakyat melalui penyempurnaan
sarana dan prasarana menjadi
lebih sempurna itu ia berharap menarik
perhatian dan ketaatan masyarakat
,23
Di samping menjadi alat
kemakmuran yang melipatgandakan produksi
ekonomi serta mempermudah hidup
dan menghemat waktu, bagi Sunan
Kalijaga, luku (bajak) dan
pacul (cangkul) sekaligus menjadi alat dakwah
dan pendidikan ruhani serta
keimanan yang sangat populer dan praktis.
Dengan luku, yang menurut
Sunan Kalijaga memiliki tujuh bagian, diajarkan
suatu falsafah hidup yang dalam
serta mulia untuk mencapai cita
dan tujuan hidup. Dengan pacul,
yang menurut Sunan Kalijaga terdiri atas
tiga bagian, diajarkan jalan
kehidupan yang harus ditempuh agar bahagia
mencapai cita-cita yang tinggi.
Falsafah luku dan pacul
Sunan Kalijaga dalam kitab Cupu Manik Astagina
dijelaskan secara rinci. Bajak
atau luku memiliki tujuh bagian. Masingmasing
bagian itu ialah cekelan (pegangan),
berarti orang yang ingin menh.
Adrian, Tata Cora Indonesia
(Jawa) yang Cocok dengan Keislaman, (Solo: Nawa Windu
Radyapustaka, t.t.), p. 43 - 45.
"Djawatan Bimbingan Sosial
Kementerian Sosial RI, Cupu Manik Astagina, p. 20.
Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 133
capai sesuatu cita-cita, harus
mempunyai pegangan, bekal cukup, dan berpegang
teguh atas bekal yang telah
dimiliki itu. Pancatan, mancat artinya
bertindak, maksudnya kalau kita
telah mempunyai pegangan cukup bekal
yang diperlukan, segeralah
bertindak, mengerjakannya, jangan ditundatunda
lagi. Tanding artinya
membanding-bandingkan, maksudnya setelah
bertindak pikiran kita harus berjalan
membanding-banding meneliti dan
sebagainya. Singkal diartikan
metu saka ing akal keluar akal atau siasat,
maksudnya setelah kita
memikir-mikir, membanding-banding dan meneliti,
maka akan terdapatlah sesuatu
akal, suatu siasat untuk berhasil dalam
pekerjaan kita. Kajen artinya
kesawijen ialah kesatuan atau pemusatan,
maksudnya bila kita telah
mendapat akal atau siasat perlu kita persatukan
semua tenaga dan pikiran. Olang-aling
artinya barang yang menutupi,
maksudnya setelah kita
mempersatukan segala tenaga pikiran untuk mengejar
cita-cita itu, maka seakan-akan
cita-cita yang kita ingini terbayang
di muka kita, tak ada yang
menutupi. Racuk diartikan ngarah sing pucuk
yaitu menghendaki yang paling
atas atau paling tinggi. Maksudnya bila
kita mengejar cita-cita dan
melaksanakan seperti petunjuk-petunjuk di atas,
maka meskipun cita-cita itu
sangat tinggi akan tercapai jua akhirnya.
Sekarang giliran falsafah pacul.
Setelah habis membajak, maka terdapatlah
tanah di sudut-sudut sawah yang
belum terbajak. Ini menggambarkan
bahwa dalam menjalankan sesuatu
tentu ada kekurangankekurangan
dan rintangan-rintangannya.
Kekurangan dan rintangan itu
harus diatasi, maka petani perlu
menggunakan pacul, yang mempunyai
tiga bagian. Masing-masing bagian
memiliki arti spesifik pula. Pacul, diartikan
ngipatake kang
muncul artinya
menjauhkan apa yang muncul. Maksudnya
bahwa dalam menjalankan sesuatu
yang baik, tentu timbul godaan
dan kesulitan-kesulitan.
Godaan-godaan itu harus di buang dan dilemparkan
jauh-jauh. Bawak, diartikan
obahing awak yaitu geraknya badan atau
kerja. Maksudnya agar melemparkan
godaan-godaan dengan kerja keras
dan giat sehingga tidak ada waktu
yang terluang. Dengan demikian akan
kalahlah semua godaan-godaan,
sesuai dengan peribahasa, "Berpangku
tangan menjadi
bantal setan." Bagian
terakhir ialah doran, diartikan ndedongo
marang Pangeran,
yaitu
berdoa atau memuji kepada Tuhan. Di sini dimaksudkan
bahwa bila kita mengejar
cita-cita yang baik dengan segala
usaha dan amalan badaniah, maka
segala daya upaya dalam mengatasi
godaan-godaan dan
rintangan-rintangan itu, kita tidak boleh lupa kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar mendapat
rahmat dari-Nya, semoga kiranya
Tuhan mengabulkan cita-cita kita
itu. Dengan begird maka pencapaian citacita
tidak membelokkan kita kearah
kepentingan diri sendiri tetapi untuk
Tuhan dan kebahagiaan masyarakat.
Selain itu, menghalangi kita agar tidak
menjadi takabur, tetapi tetap
rendah hati karena insaf bahwa segalanya
tidak akan terjadi bila tidak
dengan seizin dan pertolongan Allah.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa :Ada dua faktor elemen
yang menopang keunggulan dan
keistimewaan para wali sehingga mereka
berhasil dalam perjuangannya
mengislamkan masyarakat Jawa. Faktor
pertama para wali menjadikan
ajaran-ajaran Islam tidak menjadi inklusif
di penuhi oleh perintah dan
larangan syariat. Mereka juga tidak hanya
bertujuan agar nilai Islam
dimengerti oleh rakyat, tetapi lebih dari itu,
mereka berusaha agar Islam
diamalkan dalam kehidupan nyata. Faktor
kedua ialah mereka telah
membuktikan diri sebagai mujtahid ulung yang
memahami Islam sebagai suatu nazhari
(teori) ataupun sebagai gagasan
yang abstrak. Bahkan mereka pun
menaruh perhatian, memiliki pengetahuan
dan sikap tegas terhadap
persoalan kemasyarakatan zaman mereka sebagai
suatu kenyataan aktual dan
konkret. Islam di pahami sebagai das
sollen (cita dan
keharusan) sedangkan masyarakat Jawa sebagai das sein
(realitas). Keduanya mereka
perhitungkan dengan paduan kompromi
dalam strategi, dan harmoni dalam
langkah Islamisasi. Disinilah pentingnya
sebuah dakwah Budaya di masyarakat yang multi
kultural.
0 komentar:
Post a Comment