Iklan

Thursday, January 19, 2017

Metode Dakwah Wali Songo


Pada masa awal kedatangan Islam di kepulauan Nusantara, khususnya
Jawa, masyarakat Jawa telah menganut dan memiliki berbagai kepercayaan
1HJ. Benda," Kontinuitas dan Perubahan dalam Islam di Indonesia," dalam Taufik Abdullah
(Editor), Islam di Indonesia, (Jakarta : Tintamas,1975), p. 33.

Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 123
dan agama, yakni Animisme-Dinamisme dan Hindu- Budha. Budaya Jawa
asli yakni Religi animisme-dinamisme telah berkembang semenjak masa
pra-sejarah. Dalam agama jawa ada pemikiran bahwa dunia ini juga
didiami oleh ruh-ruh halus dan kekuatan-kekuatan gaib. Orang percaya
dapat mengadakan hubungan langsung untuk meminta bantuan atau untuk
menguasai ruh-ruh dan kekuatan-kekuatan gaib bagi kepentingan duniawi
dan rohani mereka.

Pada masa Hindu-Budha, budaya Jawa asli tersebut, ditumbuh
kembangkan. Para cendikiawan Jawa menyadap dan mengolah unsurunsur
Hinduisme bagi pengembangan dan penghalusan budaya Jawa. Satu
hal yang perlu dicatat bahwa Hinduisme mempunyai dasar pikiran yang
sejajar atau sejalan dengan religi animisme-dinamisme, yakni bahwa
manusia bisa menjalin hubungan dengan dewa-dewa dan ruh-ruh halus.
Bahkan dengan laku tapa brata manusia bisa menjadi sakti dan bersatu
dengan dewanya. Jadi pengaruh Hinduisme justru menyuburkan dan
meningkatkan laku keprihatinan.

Kemudian ketika kedatangan agama Islam yang mulai menyebar di
Indonesia semenjak abad ke-13 M, ternyata juga tidak mengganggu budaya
asli animisme-dinamisme di Jawa. Hal ini dikarenakan budaya asli ini
mempunyai watak yang elastis sehingga dapat menyusup dalam Islam
pesantren. Karena yang menyebar ke Indonesia adalah Islam Sufi, maka
agama Islam yang ajarannya telah dimistikkan mengalami perkembangan
dengan sangat cepat .Hal ini karena ajaran Islam ini disebarkan melalui
pendekatan Budaya. Pendekatan budaya dimaksud adalah penerapan
metode-metode dakwah dengan mempergunakan budaya local, sebagaimana
paparan berikut.

A. Metode al-Hikmah

Metode ini sebagai sistem dan cara berdakwah para wali merupakan
jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif dan
sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat
awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu
mereka hadapi secara massal. Kadang-kadang terlihat sensasional, bahkan
ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum. Dalam rangkaian
metode ini kita dapati Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.

Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekatennya.2 Atas usul Sunan Kalijaga,
!Ki Siswoharsojo, Guna Cara Agama, Cet.2 (t.p.:Yogyakarta,1955), p. 21-22.
124 Aplikasia, Jurnal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:122-141
maka dibuatlah keramaian Sekaten atau syahadatayn (dua kalimat persaksian
kunci keislaman), yang diadakan di Masjid Agung dengan memukul gamelan
yang sangat unik dengan langgam-lagu maupun komposisi instrumental
yang telah lazim masa itu. Keramaian diadakan menjelang hari peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw. Selain itu, Sunan Kalijaga juga mengarang
lakon-lakon wayang baru dan menyelenggarakan pergelaran-pergelaran
wayang.3 Sedangkan upah baginya sebagai dalang, ialah berupa kalimat
syahadat. Dengan kalimat syahadat beliau baru mau dipanggil untuk memainkan
sesuatu lakon wayang. Pergelaran wayang biasanya diselenggarakan
dalam rangka meramaikan suatu pesta atau upacara peringatan. Pada
kesempatan seperti inilah disampaikan nilai-nilai tauhid kepada masyarakat
awam dengan menempuh dakwah melalui cerita-cerita wayang yang pada
masa itu sangat digemari masyarakat awam.

Metode di atas juga diterapkan oleh Sunan Kudus. Dengan lembunya
yang nyentrik karena dihias istimewa merealisasikan kiat lain dalam menerapkan
prinsip dakwah.4 Diceritakan bahwa Sunan Kudus pernah mengikat
seekor lembu di alaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu
masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu
yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang
dan berkerumun di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan
dakwahnya. Cara ini sangat praktis dan strategis. Seperti diketahui, lembu
merupakan binatang keramat dan menarik hati orang Hindu. Menyaksikan
bahwa lembu tidak dihinakan oleh Sunan Kudus, terbitlah minat dan
simpati masyarakat penganut Hindu.

Selain itu metode ini juga banyak dipakai oleh Wali yang lain dalam
usahanya mengislamkan masyarakat Jawa,yaitu dengan menggubah hal
lama yang tidak bersesuaian dengan Islam. Sunan Ampel, menyusun
aturan-aturan syariat islam bagi orang-orang Jawa. Sunan Gresik mengubah
pola dan motif batik, lurik dan perlengkapan kuda. Sunan Majagung
menyempurnakan masakan, makanan, usaha dan peralatan pertanian serta
barang pecah-belah. Sunan Gunung Jati memperbaiki doa mantra (pengobatan
batin), firasat, jampi-jampi (pengobatan lahir) dan hal-hal yang berkenaan
dengan urusan pembukaan hutan, trasmigrasi ataupun pembangunan
desa baru. Sunan Giri menyusun peraturan-peraturan tata-
JD.A. Rinkes, De Helligen Van ]ctm, Jilid V, p. 150.
Solichin Salam, Sunan Kudus, Riwayat Hidup serta Perjuangannya (Kudus: Menara Kudus
t.t)p. 17.

Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 125
kerajaan, tata-istana, aturan protokoler kerajaan Jawa, mengubah perhitungan-
perhitungan dari bulan, tahun, windu, masa, dan memulai
pembuatan kertas. Sunan Bonang menciptakan aturan-aturan serta kaidah
keilmuan dan memperbaiki serba-serbi gamelan, lagu dan nyanyian. Sunan
Drajat mengubah bentuk rumah, alat angkutan (seperti kuda, joki, dan
sebagainya).

B. Metode Tadarruj atau Tarbiyatul Ummah

Metode ini dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan
dengan tahap pendidikan umat. Agar ajaran Islam dapat dengan mudah
dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan secara merata, maka metode
yang ditempuh oleh Walisongo didasarkan atas pokok pikiran li kulli maqam
maqam yaitu memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat, ada tingkat,
bidang materi dan kurikulumnya. Sesuai dengan cara ini, penyampaian
fiqih ditujukan bagi masyarakat awam dengan jalan pesantren dan melalui
lembaga sosial.

Dalam lingkungan pesantren disediakan pengajaran dan pendidikan
bagi masyarakat umum yang ingin belajar takhassus (mengkaji secara intens
dan khusus) masalah fiqih dan syariat. Untuk menjadi peserta, tidak diajukan
persyaratan tertentu karena memang dibuka untuk umum yang
memang berminat. Selanjutnya, metode lembaga sosial. Melalui pendidikan
sosial atau usaha-usaha kemasyarakatan diupayakan agar ajaran-ajaran
Islam yang bersifat praktis dapat menjadi tradisi yang memungkinkan
terciptanya adat lembaga Islam yang bersifat normatif. Dengan begitu,
diharapkan anggota masyarakat secara sadar atau tidak sadar menjalankan
ajaran serta amalan-amalan Islam atau lembaga sosial, misalnya menjadikan
masjid sebagai lembaga pendidikan, merayakan upacara kelahiran,
perkawinan, kematian, lembaga kekeluargaan, khitan, dan sebagainya.

Sesuai dengan karakter yang termuat di dalamnya, maka ilmu kalam
atau tauhid disampaikan sebagai ta'lim (pengajaran) melalui pesantren,
dan diberikan bagi orang-orang khawas secara terbatas. Sedangkan untuk
menyampaikan nilai-nilai tauhid kepada masyarakat awam ditempuh
dakwah melalui cerita-cerita wayang. Untuk kepentingan itu, antara lain
diciptakan lakon Dewa Ruci, Jimat Kalima Soda, dan dikarang pula kitabkitab
bacaan umum semisal Kitab Ambiyo (Kitab Al- Anbiya) yang berisi
riwayat nabi-nabi.

Selanjutnya, ilmu tasawuf, yang oleh Sunan Bonang disebut ushul
suluk? Ilmu ini disampaikan melalui wind, yaitu pengajaran dengan wejang-
'Schrieke, Hit Boek Van Bonang, (Leiden: Proefschrif Univ Leiden, 1916), p. 92.
126 Aplikasia, Jumal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:122-141
an secara rahasia, tertutup dan sangat eksklusif. Tempat dan waktunya
ditentukan secara rahasia pula. Wirid ilmu tasawuf hanya disediakan bagi
orang-orang tertentu yang telah berlemek atau memiliki basis yang memang
diperlukan bagi laku suluk, thariq, thariqat.6 Ketentuan ini disamping atas
suatu kelaziman karena tasawuf merupakan ilmu lanjut yang dengan
sendirinya menuntut suatu ilmu dasar, juga demi mejaga keliru paham,
salah pengertian dan salah penggunaan terhadap ilmu ini.

Contoh bagi semua ini ialah antara lain ketika Raden Fatah menyatakan
ingin berguru agama kepada Sunan Ampel, maka Raden Fatah di tanya
lebih dulu apakah sudah memiliki dasar. Setelah mengetahui dasar yang
dimilikinya kemudian Raden Fatah tidak lagi diharuskan masuk pondok
pesantren, tetapi langsung ditempatkan dalam derajat lingkaran ivirid.
Raden Fatah memang membawa bekal ilmu yang sebelumnya ia miliki sejak
dari Palembang.7

C. Metode Pembentukan dan Penanaman Kader, serta Penyebaran Juru
Dakwah ke Berbagai Daerah

Dikarenakan tempat yang menjadi sasaran dakwah adalah daerahdaerah
yang kosong dari pengaruh Islam, maka Sunan Kalijaga mengkader
Kiai Cede Adipati Pandanarang untuk berhijrah ke Tembayat dan mengislamkan
masyarakat di daerah itu dan sekitarnya. Kiai Cede Pandanarang
kemudian dikenal sebagai Sunan Tembayat.8 Selain itu, Sunan Kalijaga juga
mendidik Ki Cakrajaya dari Purworejo dan setelah menjadi wali nawbah
dianjurkan pindah ke Lowanu agar mengislamkan masyarakat disekitar
daerah itu.9 Sunan Ampel menyuruh Raden Fatah berhijrah ke hutan
Bintara, membuka hutan itu dan membuat perkampungan atau kota baru,
lalu mengimami masyarakat yang baru terbenruk nanti. Lebih lanjut Bintara
ini berkembang menjadi Demak, markas dan basis perjuangan Islam pada
masa lebih lanjut.10 Selain itu, misalnya Sayyid Ya'qub atau yang lebih
dikenal sebagai Syaikh Wali Lanang di kirim ke Blambangan " untuk
mengislamkan Prabu Satmudha. Sedangkan Khalifah Kusen (Husain) ke
Madura untuk mengislamkan Arya Lembupeteng, dan Iain-lain.
'D.A. Rinkes, De Hdligen Van }wa, IV:533 no.15.
T?. Tanojo, Walisana.,(Solo: TB.Sadu Budi, t.t), p. 54-55.
"D.A. Rinkes, De Helligen Van Java, p. 21.
'Ibid., Ill: 275, tentang Sunan Geseng.
10R. Tanojo, Walisana, p. 79-80.
"Ibid., p. 21.

Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 127
Tidak berlebihan bila disimpulkan bahwa para Walisongo telah berhasil
mengislamkan tanah Jawa, karena telah menggunakan budaya sebagai pendekatannya.
Dengan demikian para Wali tersebut telah meneladani dakwah
yang pernah diperbiiat oleh Rasulullah Saw.

Sesuai dengan prinsip keorganisasian, forum Walisongo merupakan
suatu kerja sama yang harmonis. Walisana12 memberikan tugas dan inisiatif
yang dipegang oleh masing-masing wali sehingga merupakan suatu pembagian
tanggung jawab dan kerja sama wali-wali dalam kesatuan jamaah.
Dalam keadaan tersebut masing-masing wali merupakan ketua-ketua seksi
penanggung jawab. Sementara isi materi pelaksanaan tanggung jawab itu
berasal dari sumbangan, buah pikiran serta keahlian yang ada pada mereka
masing-masing. Sebagai contoh, meskipun persoalan lagu-lagu adalah tugas
dan tanggung jawab Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga,13 namun para
wali yang lain juga ikut mengarang lagu-lagu untuk menopang seksi yang
diketuai Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga itu. Seperti Sunan Giri
mengarang lagu langgam Asmaradana, sedang Sunan Majagung lagu
Maskumambang. Atau bidang pertanian yang sebenarnya adalah bagian
dari tugas Sunan Majagung, tetapi Sunan Kalijaga menyumbangkan kecakapannya,
yaitu menyempurnakan bentuk pacul dan luku.

Di samping menjadikan forum Walisongo secara efektif sebagai orgartisasi
dan alat kepentingan dakwah, para wali menggunakan media baik
bersifat psikologis maupun material dengan kiat yang lebih luas. Dalam
dakwahnya, terbukti bahwa mereka tidak melupakan faktor dan gejalagejala
psikologis. Segi-segi psikologis ini mereka perhatikan dan mereka
manfaatkan untuk menyiasati masyarakat yang menjadi sasaran dakwah
mereka. Ini sebagai bukti bahwa dakwah yang disampaikan oleh para Wali
songo juga dibina menurut tuntunan Rasul.

Di samping mendasarkan argumen di atas prinsip rasional, mudah
diterima akal dan atas prinsip emosional bersesuaian dengan cita-rasa
manusia, mengetuk pintu hati; maka tidak jarang pula wali-wali itu mendasarkan
pelaksanaan dakwahnya dengan unik, yaitu dengan dalil
argumentasi aksiomatik yang secara otomatis sangat jitu. Sebagai contoh,
setelah para wali melakukan kisas atas diri Syaikh Siti Jenar yang dituduh
bid'ah, musyrik, ibahiyah, absurd, dan sangat berbahaya bagi usaha mengislamkan
rakyat yang masih sangat muallaf (baru menerima islam) dan
"Ibid., p. 192-193.
"IbiA., p. 190-209.
128 Aplikasia, Jumal Aplikasi llmu-ilmuAgama, Vol. IV, No. 2 Desember2003:122-141
mudah di selewengkan itu, para wall mengubur jenazah Syaikh dengat
sangat rahasia. Bahkan Sultan Demak sendiri tidak tahu hal ihwal yang
sebenarnya. Jenazah itu kemudian diganti dengan bangkai anjing kurus,
merah, kudisan, dan menjijikkan yang ditaruh pada keranda mati. Semua
itu sebagai tamsil peringatan atas diri Sultan dan juga bagi publik awam
yang sangat menaruh perhatian dan tertarik pada ajaran Syaikh Lemah
Abang. Di samping itu, juga dimaksudkan agar mereka menyimpulkan
sendiri dan membenarkan tindakan wali-wali, dan sebaliknya menjauhi
dan membenci ajaran-ajaran Syaikh Lemah Abang. Lebih dari itu, bila
mengikuti Syaikh Siti Jenar berarti menanggung nasib sebagaimana yang
mereka lihat dan yakini dengan mata kepala sendiri. Atau dari berita-berita
raja yang diundangkan secara resmi, berita dari mulut ke mulut di seantero
Kerajaan Demak, kematian Syaikh Lemah Abang sangat aneh dan menyeramkan,
ia telah berubah menjadi bangkai anjing yang sangat hina dan
menjijikkan "Banke kirik kudisen". Itulah laknat dan kehinaan sebagai akibat
kesesatan dan keganjilannya. Demikianlah, wali-wali itu berhasil menarik
publik ke arah paham mereka yang sunni dan menjauhkannya dari ajaran
Syaikh Lemah Abang yang bid'iy dan sesat.

Sukses ini terjadi secara merata di dalam wilayah daerah Kerajaan
Demak. Bahkan para wali telah berhasil mempengaruhi Sultan Demak
sehingga menggantungkan bangkai anjing "jenazah Syaikh Siti Jenar" itu,
di perempatan jalan yang ramai. Maklumat ini disertai ancaman lengkap
dengan hal-ihwal dan akibatnya, yang mengandung tamsil ibarat nasib
malang yang akan menimpa dan menjadi bagian bagi setiap orang yang
berani menghina agama dan berlaku bid'ah seperti Siti Jenar. Nasib yang
malang dan hina itu ialah di dunia akan dipidana oleh raja dengan hukuman
qisas dan di akherat kelak akan mendapat kehinaan dari Tuhan Yang Maha
Esa, yaitu dijadikan kirik kuru gudiken (anjing kecil kurus kudisan) dan
bukan manusia lagi karena berani-berani menyekutukan Tuhan. Inilah suatu
dosa musyrik yang tidak terampunkan dan tidak tertobatkan.

Selain itu, sebagai bukti penggunaan uslub yang bijaksana terlihat pada
pelaksanaan dakwahnya, wali-wali itu menciptakan lambang-lambang,
simbol, rumus, dan semboyan yang dapat menarik orang kepada Islam.
Untuk itu, mereka menciptakan kidung-kidung sebagai nyanyian agama
dan keramat seperti Kidung Rumeksa ing Wengi ciptaan Sunan Kalijaga.
Mereka juga mengubah mantra menjadi doa yang sesuai dengan tuntunan
Islam. Mantra-mantra itu diawali dengan basmallah dan diakhiri dengan
ilia', misalnya ialah lafaz Mantra Betuah (petuah) Sunan Kali, suatu bacaan
bila kita berhajat memohon apa saja kepada Yang Menguasai Hidup (Sing

Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 129

Kuasa). Apa pun yang akan kita mohonkan, hendaknya lafadh itu dibaca
saat istirahat waktu bedug telu (tengah malam menjelang dini hari atau
fajar) di halaman rumah dengan membakar kemenyan. Lafadhnya sebagai
berikut:

"Bismillaahirmhmaaninaheim, sindung liwung amba minta tulung ing Tuwan;
tulungana amba ing ganjaran wisesa, cemeti Ratu Sugih, ya aku rajek wesi Purasami,
saking Swarga, Jalalu'llah padang Jayakusuma, remek rempu ivong sanagara kabeh,
Lailaliaillattah."u

Para wall juga memasyarakatkan ungkapan interjeksi untuk peristiwa
penting, mendadak atau mengharukan. Misalnya kata La Haaha illallah harus
senantiasa dibaca, supaya kita hidup berbahagia di dunia dan di akherat.
Atau kata Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un sebagai bacaan di saat-saat kecewa,
kehilangan, kematian atau kesusahan. Juga kata La hawla wala
quwwata ilia billahil 'aliyyil 'adhim bila ada tindak laku yang buruk dan tidak
baik. Tidak lupa harus membaca Bismillah bila hendak memulai sesuatu
pekerjaan.15

Sunan Kalijaga dan wali lainnya dapat menarik perhatian sehingga di
minta menjadi guru oleh para sentana keratin. Ini menjadi tanda dan bukti
bagaimana mereka bisa membawakan diri dengan cara-cara pergaulan
yang bersesuaian dengan golongan-golongan tinggi itu. Pada sisi lain, terhadap
awam mereka tidak lupa menjaga harga diri agar kehebatan mereka
tetap memancarkan wibawa yang mendatangkan penghormatan dan ketaatan.
Wali-wali itu membuat jasa dalam segala bidang kemasyarakatan.

"Primbon para Wali, p. 31, sadu Budi Sola. Pilihan tengah malarn sebagai waktu untuk
bermohon, mungkin di maksudkan oleh Sunan Kalijaga sebagai pendidikan ke arah shalat
tahajjud secara tidak langsung, yaitu suatu metode yang oleh Langeveld di sebut tujuan
sementara. Sedangkan pembakaran dupa di maksudkan sebagai tujuan sementara pula, yaitu
agar rakyat Jawa yang masih tebal Hindu-Budha-Animisme itu tidak terkejut. Hal ini sering
kali dipergunakan oleh kaum Muslimin sekarang terhadap anak-anak mereka. Misalnya,
meskipun makan pada siang hari terlarang pada bulan puasa, tetapi agar anak-anak merasa
kuat dan tidak terkejut, maka setelah tiba waktu zuhur atau asar, anak-anak diperbolehkan
makan. Itulah poso bedug namanya, yaitu puasa sampai tengah hari. Hal ini dilakukan untuk
menyesuaikan dengan kekuatan dan alam pikiran anak-anak itu. Boleh jadi Sunan Kalijaga
menyadari membakar dupa itu bukanlah syarat shalat tahajjud, atau bahkan mungkin
membawa bid'ah. Tetapi demi siasat, ditempuh untuk sementara. Sedangkan kata sindung
liwung itu mungkin pula sekedar untuk pengantar bunyi agar bersajak dengan minta tolong
sebagai kata sampiran pada pantun.

15Widji Saksono, Mengislamkan Tatiah ]aiva; Telaah atas Metode Dakwali Walisongo, (Bandung:
Mizan, 1996), p. 107.

Sunan Kalijaga sangat berjasa dalam menaikkan kemakmuran dan produksi
tani, melipatkan hasil panen dengan penciptaan atau penyempurnaan alatalat
pertanian baru, bajak dan pacul.16 Jasa-jasa ini tentu mengangkat nama
mereka hingga menjadi harum dan tenar. Kenangan terhadap mereka yang
hingga kini masih menggema merupakan bukti yang fasih. Mungkin sekali
dasar pendirian para wali dalam pergaulan untuk menjaga adab, gengsi,
prestasi, dan posisi mereka di mata umat memang berasal dari tuntunan
Rasul.

Selain itu, melihat jejak sejarah yang mereka tinggalkan, agaknya
mereka merniliki sifat tidak banyak bicara tetapi banyak kerja dan banyak
pula beramal. Para wali senantiasa menyuruh langsung disertai dengan
memberikan contoh sebagai perintis kemajuan dalam masyarakat.
Dalam berdakwah, para wali menerapkan siasat yang bijaksana. Kalau
babad-babad menceritakan bahwa wali-wali itu kaya akan ilmu-ilmu kesaktian,
jaya kawijayan,17 mereka wicaksana, sugih srana Ian waskita marang
agal a/us,18 kemungkinan hal itu sebagaian besar lantaran kemampuan dan
kelihaian mereka mengatur siasat dan strategi. Sedemikian rupa hebat dan
tepatnya mereka membuat sistem pendekatan psikologis, sehingga sangat
menguntungkan bagi wali-wali itu, dan juga menguntungkan bagi Islam
yang mereka sampaikan.

Banyak bukti yang tersisa dan dapat dilihat sampai sekarang adalah
mereka memobilisasi alat ta'tsir psikologis yang berupa sensasi, conciliate,
sugesti, hipnosis sampai do cere. Karena sensasi inilah masyarakat awam
dipaksa secara halus untuk menaruh perhatian kepada para wali, dan
mengesampingkan yang selainnya. Karena conciliate, publik mengganggap
penting apapun yang datang dari para wali. Karena sugesti, rakyat didorong
berbuat sesuatu sehingga bergerak tanpa banyak tanya. Karena
hipnosis, rakyat terpukau akan segala sesuatu yang bermerek dan berstempel
wali tanpa banyak selidik dan kritik, masuk atau tidak masuk akal,
bahkan kadang-kadang menggelikan. Semua itu mereka telan mentahmentah,
pokoknya asal ada label wali, mereka setujui dan mereka tolak
kemustahilannya. Selanjutnya, karena do care para wali dapat mengendalikan
dan mengarahkan awam sebagai objek dakwahnya ke mana saja yang
mereka kehendaki.

"Djawatan Bimbingan Soslal Kementerian Sosial RI, Cujm Manik Astagina, (Yogyakarta
:Siswaatmadja,1952), p. 20.


17Wid)i Saksono, Mengislamkan Tanah ]awa..., p. 109.
"Atmodarminto, Babad Demak, (Yogyakarta : Pesat, 1955), p. 108.
Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 131
Sehubungan dengan itu, muncul Sunan Kalijaga dengan sensasinya
melalui Gamelan Sekaten dan Saka Tatal di Masjid Demak yang dicipta
dari tatal kecil setnalaman saja cuma dengan sabda. Muncul pula Sunan
Bonang dengan hipnotisnya yang membuat rakyat tidak berdaya karena
daya mukjizat beliau berupa mantra-mantra yang menurut Schrieke,19 terdiri
atas ucapan sebagai berikut:
"Jeleg kudengkreng simaning umat kabeh, ya ingsun kang wasesa sakurebing langit,
salumahing pertala. Pet perpet dadi lesus. Sun kang angrehjagad kabeh Hu Allah,"
Atau:

"Agedong sugema, kancing sugema, atutup sugema, jati ivisesa lanyep ing wujudu'llah
ihra' Hang tunggal ananing Allah, Huwa ilia Hah. "20

Di samping pendekatan psikologis sebagaimana dikemukakan diatas,
dalam berdakwah, para wali tetap secara efektif menggunakan dukungan
media audio visual. Bukti-bukti menunjukkan bahwa para wali menguasai
ilmu-ilmu agama dari fiqh dan syari'at bahkan tasawuf dan mistik. Lebih
dari itu, mereka sangat menaruh perhatian dan menguasai pula masalahmasalah
kehidupan kemasyarakatan. Masalah tersebut antara lain tercakup
dalam tujuh lapangan kehidupan seperti kejasmanian dan kesehatan, tatakehidupan
dan kemakmuran masyarakat, politik dan kenegaraan, pengetahuan,
pendidikan, dan pengajaran, kebudayaan, kesenian, hiburan, dan
kegiatan yang bermanfaat lainnya, misalnya khusus dalam keagamaan
seperti peribadatan, akidah, mistik dan segala seginya.

Berkenaan dengan masalah kejasmanian dan kesehatan, Sunan
Gunung Jati sebagai ketua seksi atau menteri urusan ini. Beliaulah yang
bertugas memikirkan masalah-masalah kesehatan dan pengobatan lahir
dan batin. Pengobatan lahir yang harus diatasi dengan obat-obat maddiyah
(lahiriah) seperti dari daun-daun dan akar-akaran; kesehatan dan pengobatan
batin diatasi dengan pengobatan spiritual, kejiwaan, firasat, jampijampi
dan mantra-mantra oleh beliau diganti dengan doa-doa tolak bala.21
Jadi beliau memang telah mencukupi persyaratan untuk disebut sebagai
ketua seksi psikosomatik.

Selanjutnya, masalah kekeluargaan dan kerumahtanggaan. Sebagai
inti sosial paling elementer lembaga keluarga dan rumah tangga mendapat
perhatian khusus. Untuk ini, Sunan Ampel memikirkan dan menyusun
"Widji Saksono, Mengislamkan Tanah ]awa..., p. 110.
31R. Tanojo, Walisana, p. 190, bait no. 6.

aturan-aturan dan perdata kekeluargaan. Dalam hal ini mencakup perkara
dan hukum munakaliat (perkawiman) yang bersangkutan dengan soal-soal
khitbah (peminangan), nikah, talak, dan rujuk. Dilengkapi pula dengan
hukum-hukum usrah (keluarga), dan upacara-upacaranya.22 Seperti azan
dan iqamah (panggilan segera mendirikan sholat) ketika bayi lahir, pemberian
nama, 'aqiqah (]w.: kekah), khitan, walimah, hadhanah, muwalah,
wiratsah, dan wasiyah (wasiat), slametan (shadaqah)
Perlengkapan yang diperlukan bagi kesejahteraan rumah tangga, mendapat
perhatian dan diislamisasikan oleh para wall. Perlengkapan dan peralatan,
bentuk-bentuk rumah ditangani oleh Sunan Drajat; alat-alat dapur
dan pecah belah oleh Sunan Majagung; perlengkapan pertanian, transportasi
dan pengangkutan oleh Sunan Gresik, sedangkan perabot besi serta
logam oleh Sunan Kudus.

Berkenaan dengan masalah perekonomian dan kemakmuran, tampil
pula Sunan Majagung sebagai nayaka (menteri) urusan ini. Beliau antara
lain memikirkan masalah halal-haram, masak-memasak, makanan, ikanikanan
serta daging-dagingan. Untuk efisiensi dalam perekonomian beliau
berijtihad tentang kesempurnaan alat-alat pertanian, perabot dapur, pecah
belah. Dalam pada itu, Sunan Kalijaga menyumbangkan karya-karya yang
berkenaan dengan pertanian seperti filsafat bajak dan cangkul. Dengan
membuat jasa dalam bidang kemakmuran rakyat melalui penyempurnaan
sarana dan prasarana menjadi lebih sempurna itu ia berharap menarik
perhatian dan ketaatan masyarakat ,23

Di samping menjadi alat kemakmuran yang melipatgandakan produksi
ekonomi serta mempermudah hidup dan menghemat waktu, bagi Sunan
Kalijaga, luku (bajak) dan pacul (cangkul) sekaligus menjadi alat dakwah
dan pendidikan ruhani serta keimanan yang sangat populer dan praktis.
Dengan luku, yang menurut Sunan Kalijaga memiliki tujuh bagian, diajarkan
suatu falsafah hidup yang dalam serta mulia untuk mencapai cita
dan tujuan hidup. Dengan pacul, yang menurut Sunan Kalijaga terdiri atas
tiga bagian, diajarkan jalan kehidupan yang harus ditempuh agar bahagia
mencapai cita-cita yang tinggi.
Falsafah luku dan pacul Sunan Kalijaga dalam kitab Cupu Manik Astagina
dijelaskan secara rinci. Bajak atau luku memiliki tujuh bagian. Masingmasing
bagian itu ialah cekelan (pegangan), berarti orang yang ingin menh.
Adrian, Tata Cora Indonesia (Jawa) yang Cocok dengan Keislaman, (Solo: Nawa Windu
Radyapustaka, t.t.), p. 43 - 45.

"Djawatan Bimbingan Sosial Kementerian Sosial RI, Cupu Manik Astagina, p. 20.

Dakwah Budaya Walisongo (Muh Fatkhan) 133

capai sesuatu cita-cita, harus mempunyai pegangan, bekal cukup, dan berpegang
teguh atas bekal yang telah dimiliki itu. Pancatan, mancat artinya
bertindak, maksudnya kalau kita telah mempunyai pegangan cukup bekal
yang diperlukan, segeralah bertindak, mengerjakannya, jangan ditundatunda
lagi. Tanding artinya membanding-bandingkan, maksudnya setelah
bertindak pikiran kita harus berjalan membanding-banding meneliti dan
sebagainya. Singkal diartikan metu saka ing akal keluar akal atau siasat,
maksudnya setelah kita memikir-mikir, membanding-banding dan meneliti,
maka akan terdapatlah sesuatu akal, suatu siasat untuk berhasil dalam
pekerjaan kita. Kajen artinya kesawijen ialah kesatuan atau pemusatan,
maksudnya bila kita telah mendapat akal atau siasat perlu kita persatukan
semua tenaga dan pikiran. Olang-aling artinya barang yang menutupi,
maksudnya setelah kita mempersatukan segala tenaga pikiran untuk mengejar
cita-cita itu, maka seakan-akan cita-cita yang kita ingini terbayang
di muka kita, tak ada yang menutupi. Racuk diartikan ngarah sing pucuk
yaitu menghendaki yang paling atas atau paling tinggi. Maksudnya bila
kita mengejar cita-cita dan melaksanakan seperti petunjuk-petunjuk di atas,
maka meskipun cita-cita itu sangat tinggi akan tercapai jua akhirnya.
Sekarang giliran falsafah pacul. Setelah habis membajak, maka terdapatlah
tanah di sudut-sudut sawah yang belum terbajak. Ini menggambarkan
bahwa dalam menjalankan sesuatu tentu ada kekurangankekurangan
dan rintangan-rintangannya. Kekurangan dan rintangan itu
harus diatasi, maka petani perlu menggunakan pacul, yang mempunyai
tiga bagian. Masing-masing bagian memiliki arti spesifik pula. Pacul, diartikan
ngipatake kang muncul artinya menjauhkan apa yang muncul. Maksudnya
bahwa dalam menjalankan sesuatu yang baik, tentu timbul godaan
dan kesulitan-kesulitan. Godaan-godaan itu harus di buang dan dilemparkan
jauh-jauh. Bawak, diartikan obahing awak yaitu geraknya badan atau
kerja. Maksudnya agar melemparkan godaan-godaan dengan kerja keras
dan giat sehingga tidak ada waktu yang terluang. Dengan demikian akan
kalahlah semua godaan-godaan, sesuai dengan peribahasa, "Berpangku
tangan menjadi bantal setan." Bagian terakhir ialah doran, diartikan ndedongo
marang Pangeran, yaitu berdoa atau memuji kepada Tuhan. Di sini dimaksudkan
bahwa bila kita mengejar cita-cita yang baik dengan segala
usaha dan amalan badaniah, maka segala daya upaya dalam mengatasi
godaan-godaan dan rintangan-rintangan itu, kita tidak boleh lupa kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar mendapat rahmat dari-Nya, semoga kiranya
Tuhan mengabulkan cita-cita kita itu. Dengan begird maka pencapaian citacita
tidak membelokkan kita kearah kepentingan diri sendiri tetapi untuk

Tuhan dan kebahagiaan masyarakat. Selain itu, menghalangi kita agar tidak
menjadi takabur, tetapi tetap rendah hati karena insaf bahwa segalanya
tidak akan terjadi bila tidak dengan seizin dan pertolongan Allah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :Ada dua faktor elemen
yang menopang keunggulan dan keistimewaan para wali sehingga mereka
berhasil dalam perjuangannya mengislamkan masyarakat Jawa. Faktor
pertama para wali menjadikan ajaran-ajaran Islam tidak menjadi inklusif
di penuhi oleh perintah dan larangan syariat. Mereka juga tidak hanya
bertujuan agar nilai Islam dimengerti oleh rakyat, tetapi lebih dari itu,
mereka berusaha agar Islam diamalkan dalam kehidupan nyata. Faktor
kedua ialah mereka telah membuktikan diri sebagai mujtahid ulung yang
memahami Islam sebagai suatu nazhari (teori) ataupun sebagai gagasan
yang abstrak. Bahkan mereka pun menaruh perhatian, memiliki pengetahuan
dan sikap tegas terhadap persoalan kemasyarakatan zaman mereka sebagai
suatu kenyataan aktual dan konkret. Islam di pahami sebagai das
sollen (cita dan keharusan) sedangkan masyarakat Jawa sebagai das sein
(realitas). Keduanya mereka perhitungkan dengan paduan kompromi
dalam strategi, dan harmoni dalam langkah Islamisasi. Disinilah pentingnya
sebuah dakwah Budaya di masyarakat yang multi kultural.

0 komentar:

Post a Comment