Allah menciptakan alam semesta
ini bukan untukNya, tetapi untuk seluruh
makhluk yang diberi hidup dan
kehidupan. Sebagai pencipta dan sekaligus pemilik, Allah
mempunyai kewenangan dan
kekuasaan absolut untuk melestarikan dan
menghancurkannya tanpa diminta
pertanggungjawaban oleh siapapun. Namun begitu,
Allah telah mengamanatkan alam
seisinya dengan makhlukNya yang patut diberi amanat
itu, yaitu MANUSIA.
Dan oleh karenanya manusia adalah
makhluk Allah yang dibekali dua potensi
yang sangat mendasar, yaitu
kekuatan fisi dan kekuatan rasio, disamping emosi dan
intuisi. Ini berarti, bahwa alam
seisinya ini adalah amanat Allah yang kelak akan minta
pertanggungjawaban dari seluruh
manusia yang selama hidupnya di dunia ini pasti
terlibat dalam amanat itu.
Manusia diberi hidup oleh Allah
tidak secara outomatis dan langsung, akan tetapi
melalui proses panjang yang
melibatkan berbagai faktor dan aspek. Ini tidak berarti Allah
tidak mampu atau tidak kuasa
menciptakannya sealigus. Akan tetapi justru karena ada
proses itulah maka tercipta dan
muncul apa yang disebut “kehidupan” baik bagi manusia
itu sendiri maupun bagi mahluk
lain yang juga diberi hidup oleh Allah, yakni flora dan
fauna.
Kehidupan yang demikian adalah
proses hubungan interaktif secara harmonis dan
seimbang yang saling menunjang
antara manusia, alam dan segala isinya utamanaya flora
dan fauna, dalam suatu “tata
nilai” maupun “tatanan” yang disebut ekosistem. Tata nilai
dan tatanan itulah yang disebut
pula “moral dan etika kehidupan alam” yang sering
dipengaruhi oleh paradigma
dinamis yang berkembang dalam komunitas masyarakat
disamping pengaruh ajaran agama
yang menjadi sumber inspirasi moral dan etika itu.
Manusia adalah satu-satunya
makhluk di alam yang memiliki kapasitas untuk
menyandang predikat khalifah
Tuhan di muka bumi. Makhluk dengan kedudukan agung
ini akan sangat merugi jika
mencintai dunia secara berlebihan dan melalaikan posisi
tingginya di jagad raya ini. Pada
suatu hari, seseorang bertanya kepada Abu Said Abul
Khayr, seorang tokoh sufi Persia,
“Dimana engkau mencari Tuhan?” Abu Said
menjawab, “Di tempat mana engkau
telah mencari Tuhan dan tidak menemukan-Nya?”
Manusia berusaha mengenal dirinya
dan mengenal alam semesta. Ia ingin lebih
tahu siapa dirinya dan bagaimana
alam semesta. Dua jenis pengetahuan ini menentukan
evolusi, kemajuan dan
kebahagiaannya. Agama mengajak manusia untuk mengenal
dirinya. Pokok-pokok ajaran agama
adalah kenalilah dirimu agar engkau tahu Tuhanmu
dan jangan melupakan Tuhanmu agar
kamu tidak lupa akan dirimu. Imam Ali as
mengatakan, “Semoga Allah
merahmati manusia yang tahu asal-usulnya, tahu
keberadaan dirinya, dan tahu
hendak ke mana dirinya.”
Seorang arif berkata bahwa maksud
dari mencari Tuhan bukanlah engkau
menemukannya, tapi engkau harus
menyelamatkan dirimu dari kelalaian dan mengenal
dirimu sendiri. Pengenalan
manusia merupakan sebuah jalan untuk mengenal Tuhan dan
pada dasarnya, jalan mengenal
Tuhan akan melewati gerbang pengenalan manusia itu
sendiri. Imam Ali as berkata,
“Barang siapa mengenal dirinya, maka sungguh dia akan
mengenal Tuhannya”. Dengan kata
lain, barang siapa yang telah mengenal dirinya
tentang bagaimana makhluk yang
rendah ini bisa menggapai kesempurnaan, maka ia
akan mengenal Tuhannya. Sebab,
manusia mengetahui bahwa selain Tuhan Yang Maha
Kuasa, tidak ada makhluk lain
yang bisa mengantarkannya dari segumpal mani menuju
kesempurnaan.
Manusia dapat mengenal Tuhan
dengan sifat Jamaliyah (keindahan) dan
Jalaliyah (Keagungan)
dengan cara tafakkur, perenungan, dan penyelaman terhadap
dirinya sendiri. Imam Ali as
berkata, “Barang siapa yang telah mengenal dirinya, maka ia
mengenal Tuhannya dan karena ia
telah mengenal Tuhan, maka ia telah sampai pada ilmu
dan pengetahuan tentang seluruh
keberadaan.”
Tujuan utama ilmu agama dan
filsafat adalah mengenal manusia dan alam
semesta serta hubungan keduanya
dengan Sang Pencipta. Oleh sebab itu, pengenalan
terhadap berbagai dimensi dan
karakteristik manusia akan mendekatkan seseorang pada
asal mula penciptaan dan tujuan
dasarnya. Rasul Saw bersabda, “Orang yang paling tahu
tentang dirinya, maka ia adalah
orang yang paling mengenal Tuhannya.”
Dikisahkan bahwa seorang sufi
berkata kepada sahabatnya demikian, “Wahai
Tuhan, kenalkanlah diri-Mu
kepadaku.” Sementara aku berkata, “Wahai Tuhan, kenalilah
aku pada diriku sendiri.”
Hubungan manusia dan alam semesta
merupakan sebuah tema penting filsafat.
Dengan kata lain, itu adalah
sebuah masalah yang sangat esensial bagi manusia, dimana
ia menyimpan potensi besar dalam
dirinya. Mereka yang mengkaji tema-tema Ilahiyat
dan ingin mengetahui hubungan
antara makhluk dan khalik, atau mereka yang ingin
mengenal dirinya sendiri dan juga
orang-orang yang ingin mempelajari metode
kehidupannya baik itu dalam
dimensi individu, sosial atau bahkan universal, maka
mereka akan berurusan dengan
masalah manusia dan alam semesta. Jika masalah ini
terpecahkan, kebanyakan dari problema umat manusia
akan terselesaikan.
0 komentar:
Post a Comment