Iklan

Thursday, January 19, 2017

Pembagian Hukum dalam Islam

Hukum dalam Islam ada lima yaitu:


1. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi
(dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak
dikerjakan maka ia akan berdosa

2. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak
berdosa

3. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau
ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad
SAW dalam sebuah haditsnya yang artinya:

           Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah.
Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang
paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk
orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu
sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa.
Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan
Tirmidzi)

4. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak
berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala

5. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau
dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.

           Dalil fiqih adalah Al Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama
menambahkan yaitu istihsan, istidlal, ‘urf dan istishab.

Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri atas empat macam.

1. Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya
menunjukkan kepada hukum itu.

          Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum
muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima
waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie
berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian,
setiap muslim wajib mengikutinya.

2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukumhukum
itu.

           Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas
memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan
salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar
majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:

الَْبَیْعَانِ باْلخِیَارِ مَا ل مَْ یَتَفَرَّق اً

           Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak
selama keduanya belum berpisah. Kata “berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini
mungkin berpisah badan atau pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti wajib
menyapu semua kepala atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami ayat:
Artinya: “Dan sapulah kepalamu” (QS Al Maidah : 6)

Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata
tidak membaca basmalah.

مَا انَْھَرَ الدَّ مَ وَ ذُ كِرَ اسِْمَ للهِ عَلیَْھِ

Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.

1. Hukum yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi
pada suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah
dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap
muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah
disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu
menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin
merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh
hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul
mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin.

Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak
berdasarkan penelitian.

2. Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada

           kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat dalam
kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang
mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal pikirannya dan
keadaan lingkungannya masing-masing diwaktu terjadinya peristiwa itu. Hukumhukum
seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau
tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau sesduahnya berhak
membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana mujtahid pertama
telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah
hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan yang lain, setelah
diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya. Hasil ijtihad
seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid
itu sendiri dan bagi orang-orang yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat
itu belum diubahnya.

0 komentar:

Post a Comment